Selasa 05 Jan 2016 17:00 WIB

Rokok Kian Miskinkan Orang Miskin

Red:
Rokok
Rokok

JAKARTA-- Pada bulan September 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,51 juta orang (11,13 persen), berkurang sebesar 0,08 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2015 yang sebesar 28,59 juta orang (11,22 persen).

Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2015 sebesar 8,29 persen, turun menjadi 8,22 persen pada September 2015. Sementara, persentase penduduk miskin di daerah perdesaan turun dari 14,21 persen pada Maret 2015 menjadi 14,09 persen pada September 2015.

Selama periode Maret 2015-September 2015, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebanyak 0,03 juta orang (dari 10,65 juta orang pada Maret 2015 menjadi 10,62 juta orang pada September 2015), sementara di daerah perdesaan turun sebanyak 0,05 juta orang (dari 17,94 juta orang pada Maret 2015 menjadi 17,89 juta orang pada September 2015).

Penduduk miskin di Indonesia pada September 2015 mencapai 28,51 juta orang. Jumlah orang miskin ini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), menurun tipis (0,08 juta orang) dibandingkan Maret 2015 yang sebanyak 28,59 juta jiwa. Dalam jumpa persnya, Senin (4/1), BPS juga membeberkan jumlah penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan masing-masing turun 0,03 juta orang dan 0,05 juta orang dalam periode Maret-September 2015.

Apa yang menjadi penyumbang terbesar kemiskinan warga? Ada banyak faktor. Yang teratas adalah komoditas beras. Namun yang kedua, ini yang menarik, adalah rokok. Ya, belanja rokok orang miskin ternyata cukup besar. Kepala BPS Suryamin menegaskan, rokok menjadi salah satu penyumbang terbesar yang membuat masyarakat tetap berada di garis kemiskinan.

Kontribusi beras terhadap garis kemiskinan warga di perkotaan dan perdesaan masing-masing sebesar 22,10 persen dan 28,74 persen. Sedangkan, variabel rokok, untuk masyarakat miskin di perkotaan, persentasenya sebesar 8,08 persen dan di perdesaan 7,68 persen.

''Di perkotaan maupun di perdesaan, rokok berada di urutan kedua sebagai penyumbang terbesar garis kemiskinan," ujar Suryamin, Senin. Konsumsi rokok, jelas dia, membuat banyak orang Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Hingga kemudian, jelas Suryamin, mereka dianggap sebagai penduduk miskin. ''Kalau saja tidak merokok, mungkin seseorang bisa memenuhi kebutuhan 2.100 kalori per hari sehingga bisa keluar dari garis kemiskinan," ujar dia.

Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Metode yang digunakan adalah menghitung garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM). GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita per hari. Sedangkan, GKBM dihitung dengan pemenuhan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

Temuan Suryamin ini sejalan dengan pernyataan Ketua MPR Zulkifli Hasan pada 29 Oktober tahun lalu. Zulkifli menilai peredaran rokok yang begitu bebas di Indonesia dapat merugikan rakyat miskin. Dia beralasan, selama ini orang miskinlah yang paling banyak mengonsumsi rokok. Ia menyampaikan pernyataan tersebut ketika menerima Komnas Pengendalian Tembakau. Menurut dia, orang miskin rela mengeluarkan uang Rp 15 ribu per hari untuk membeli rokok.

Riset Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga pernah menyebutkan, 70 persen perokok di Indonesia berasal dari kalangan keluarga miskin. Rumah tangga miskin menempatkan konsumsi rokok di peringkat kedua setelah beras. Selain itu, YLKI juga menyatakan, 70 persen dari 19 juta penerima bantuan langsung tunai di pemerintahan sebelumnya, sebagai pengganti subsidi bahan bakar minyak, menggunakan dana yang diterimanya untuk konsumsi rokok. Ketika itu, merujuk survei BPS tahun 2008, lebih dari setengah uang BLT habis dibelikan untuk rokok—besarnya Rp 52 ribu.

Kepala BPS Daerah Istimewa Yogyakarta Bambang Kristanto menuturkan, ada lima komoditas yang menyumbang kemiskinan bagi penduduk di provinsi ini yang jumlahnya pada September 2015 menyentuh angka 485,56 ribu.

Komoditas di perkotaan yang berkontribus pada kemiskinan adalah adalah beras, rokok keretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, dan mi instan. Sedangkan, di perdesaan, komoditas di perdesaan hampir sama tetapi komoditas mi instan digantikan gula pasir.

Sementara itu, komoditas nonmakanan yang memberi sumbangan pada garis kemiskinan adalah perumahan, bensin, listrik, dan perlengkapan mandi untuk garis kemiskinan di perkotaan. Sedangkan, untuk di perdesaan, hal tersebut ditambah kayu bakar.

Kepala BPS Jawa Timur Sairi Hasbullah menyebutkan, sekarang ini muncul kemiskinan yang disebut hardcore poverty. Kemiskinan jenis ini, menurut dia, sangat sulit untuk diturunkan karena dipengaruhi kultur, kebiasaan, atau orientasi masyarakat.

Dalam konteks ini, ada sebagian masyarakat miskin yang sangat susah diubah pola pikirnya. Misalnya, menurut dia, ketika diberi bantuan untuk modal dari pemerintah, dana yang mereka terima bisa digunakan begitu saja untuk keperluan lain, semisal kenduri. "Perlu upaya masif untuk mengurai kemiskinan seperti ini, bukan hanya dari pemerintah, tapi juga melibatkan masyarakat sipil," kata Sairi. n andi nurroni/antara ed: ferry kisihandi

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement