VATICAN CITY - Vatikan sebagai pusat otoritas agama Kristen Katolik mengecam sampul majalah Prancis, Charlie Hebdo, Kamis (7/1). Dalam edisi terbarunya pekan ini, majalah humor satire asal Prancis itu menggambarkan sosok orang tua berjanggut, memanggul senapan, dan tangannya berlumuran darah. Ada tulisan tebal berwarna putih, "Satu tahun berlalu: Pembunuh masih di luar sana." Gambar ini menurut Charlie Hebdo merepresentasikan "tuhan" dalam agama yang memicu pertumpahan darah.
Charlie Hebdo edisi pekan ini terbit untuk memperingati setahun tragedi penembakan kantor media tersebut. Namun, L'Osservatore Romano, surat kabar resmi Vatikan, menilai karitakur Charlie Hebdo yang mengaitkan agama dengan pembunuhan adalah pelecehan terhadap semua agama.
Menurut L'Osservatore Romano, pandangan Charlie Hebdo tentang paradoks menyedihkan dari dunia yang semakin sensitif hampir sampai ke titik mengejek. "Namun, Charlie Hebdo tidak ingin mengakui atau menghormati pemeluk iman yang percaya kepada Tuhan, tak menghiraukan agama," tulis editorial surat kabar tersebut, Rabu (6/1).
Charlie Hebdo pekan ini menerbitkan edisi spesial peringatan satu tahun serangan ke kantor majalah mereka yang terjadi pada 7 Januari 2015. Pada saat itu, teroris menewaskan sejumlah staf dan kartunis Charlie Hebdo terkait kerapnya media itu menampilkan sosok Nabi Muhammad dalam karikatur dengan tendensi menghina.
Terkait sampul edisi terbaru ini, L'Osservatore Romano mengingatkan bahwa para pemimpin dari semua agama telah berulang kali menolak aksi kekerasan atas nama agama. Para pemuka agama juga ikut mengecam pembunuhan atas karyawan dan kartunis Charlie Hebdo tahun lalu.
Paus Fransiskus I sempat menegaskan bahwa penghinaan terhadap agama apa pun bukan sikap yang bijak. "Jika Anda menghina ibu saya, Anda bisa mengharapkan akan saya pukul balik," kata Fransiskus I tak lama selepas penembakan.
Melawan agama
Dalam editorial edisi peringatan penembakan, kartunis sekaligus editor utama Charlie Hebdo, Laurent Sourisseau, menegaskan bahwa sampul mereka memang bentuk perlawanan terhadap agama. Menurut pria dengan nama pena Riss tersebut, kepercayaan terhadap Tuhan memang sejatinya akar dari terorisme.
"Kami hidup di negaranya Voltaire (filsuf abad pertangahan Prancis), kami berhak hidup tanpa Tuhan. Dan saya ingin hidup tanpa Tuhan," tulis Riss.
Uskup Agung Jakarta Monsinyur Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo menegaskan, Vatikan akan mengecam tindakan apa pun yang melecehkan agama. Menurut Uskup Suharyo, Vatikan memegang prinsip toleransi, kerja sama, dan saling menghargai antaragama.
"Karikatur seperti itu saya rasa pasti (juga) menyinggung perasaan umat Islam, dan setiap hal yang seperti itu Vatikan pasti menolak, pasti mengecam," tegas Suharyo.
Ia menegaskan, ada perbedaan yang jelas antara tindakan pelecehan dan kritik. Pelecehan bersifat sepihak dan merendahkan, sementara kritik memiliki argumentasi dengan sudut pandang tertentu. Apa yang dilakukan Charlie Hebdo, kata Suharyo, sudah masuk tindakan pelecehan karena mengandung unsur penghinaan.
Ketua Bidang Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yusnar Yusuf juga keberatan dengan tindakan majalah satire Charlie Hebdo yang dianggapnya menyindir umat beragama. Yusnar mengaku sepakat dengan pihak Vatikan yang mengkritik sampul edisi khusus setahun kasus penembakan Charlie Hebdo. "Saya protes mengapa harus dibuat simbol seakan orang yang beragama itu harus mati, perang, dan tidak damai," ujar Yusnar.
Ketua Umum Al Washliyah itu mencontohkan, Islam kerap dituduh sebagai agama yang dibangun dengan pedang. Tuduhan itu dinilai menggeneralisasi Islam sebagai agama yang suka berperang dan tidak suka perdamaian. Hal itu, ujar Yusnar, diperkuat dengan kondisi Timur Tengah yang kerap bergejolak.
Kendati demikian, Yusnar menegaskan, konflik di berbagai wilayah yang membawa-bawa nama agama sedianya lahir karena banyak variabel. "Ya tentu Charlie Hebdo tidak bisa menggeneralisasi semua kehidupan beragama berujung pada kekerasan," ujarnya.
Sementara Sekretaris Waligereja Indonesia (KWI) Romo Benny Susetyo menilai perlu adanya kesepakatan internasional bahwa nilai-nilai suci agama tidak boleh dilecehkan. "Mereka selalu berargumen di balik kebebasan yang sudah diatur oleh mereka, ini persoalan dalam etik jurnalistik. Di satu sisi etik jurnalistik menuai masalah, di sisi lain bahwa ini adalah persoalan kebebasan yang tidak boleh dibatasi," katanya kepada Republika, kemarin.
Kepala Humas Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Jeirry Sumampow meminta masyarakat Indonesia tidak terpengaruh dengan kontroversi sampul Charlie Hebdo. Ia mengakui, di satu sisi, belum ada definisi yang jelas soal penistaan agama. n c38/ahmad fikri nor ed: fitriyan zamzami