Jumat 13 Jan 2017 15:00 WIB

Pemerintah Dianggap Eksploitasi Kelemahan UU

Red:

JAKARTA -- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memang membuka kemungkinan pemanfaatan pulau bagi orang asing. Namun, klausul pemanfaatan yang ada tidak sinkron dengan pasal-pasal lain dalam beleid tersebut.

"Jadi, pasal itu harusnya dianggap sebagai kelemahan yang perlu segera direvisi, dan bukannya malah dieksploitasi oleh pemerintah," ujar Wakil Ketua DPR Bidang Politik dan Keamanan Fadli Zon di Jakarta, Kamis (12/1).

Ia menjelaskan, dalam UU No 27/2007, Indonesia tak mengenal hak pengelolaan pulau. UU itu hanya mengenal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3), yaitu hak pengelolaan atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan serta usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, baik yang berada di atas permukaan laut maupun permukaan dasar laut.

Akan tetapi, menurut Fadli, hak itu pun sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2010 melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010. Dengan demikian, HP-3 dianggap oleh MK bertentangan dengan konstitusi.

Sebab, mekanisme HP-3 dinilai telah mengurangi hak penguasaan negara atas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, Fadli melanjutkan, pemerintah menerbitkan UU No 1/2014 tentang Perubahan atas UU No 27/2007.

Dalam Pasal 26A yang disisipkan antara Pasal 26 dan Pasal 27 disebutkan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing (PMA) harus mendapat izin menteri. Selain itu, PMA harus mengutamakan kepentingan nasional serta memperoleh rekomendasi dari bupati/wali kota.

Tidak hanya itu, izin juga harus memenuhi sejumlah syarat, seperti badan hukum berbentuk perseroan terbatas hingga menjamin akses publik.

"Jadi, rencana pemerintah memberikan hak pengelolaan pulau kepada asing, bahkan mengiming-imingi mereka untuk memberikan nama, bisa menabrak undang-undang. Apalagi, karena kita merupakan negara maritim, pemanfaatan pulau-pulau kecil harus memperhatikan fungsi pertahanan, keamanan, dan kedaulatan Negara Republik Indonesia," kata Fadli menjelaskan.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, rencana pemerintah membuka kesempatan bagi pihak asing untuk mengelola pulau di Indonesia tidak bermasalah. Menurut dia, hal tersebut tidak melanggar kedaulatan karena yang disewakan bukan pulau tersebut secara utuh, melainkan hak atas tanah.

"Sebetulnya prinsipnya boleh, cuma kan perlu pengaturan, karena yang dijual itu bukan fisik pulaunya," kata Hikmahanto kepada Republika. Ia menegaskan, sepanjang pengelolaan bukan dialihkan wilayahnya, hal tersebut tidak bertentangan dengan UU. Ia mencontohkan, layaknya bisnis jual beli tanah, tetapi negara tetap memiliki kuasa penuh.

"Ini kan hak atas tanah seperti kita punya sertifikat hak milik dan sebagainya.  Jadi gak ada masalah," ujar Hikmahanto.

Soal penamaan pulau, dia mengusulkan, sebaiknya Pemerintah Indonesia yang menamai meski ada pihak asing nantinya yang menyewa. Ia memahami jika dengan persetujuan pemerintah, para investor boleh memberi nama, tetapi untuk sebuah identitas, lebih tepatnya bernuansa lokal.

"Sebagai identitas. Apakah itu, pemerintah daerah, atau masyarakat di daerah yang memberi nama. Jangan dari pihak asing yang buat," kata Hikmahanto.

Wacana pengelolaan pulau oleh negara asing disertai pemberian nama mencuat pada Senin (9/1) malam. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan rencana itu, terkait permintaan beberapa negara asing untuk mengelola pulau di Indonesia.

Menurut dia, tidak menjadi sebuah masalah apabila pihak asing mengelola atau memberi nama suatu pulau. Ia menganalogikan hal tersebut selayaknya suatu restoran, yang diberi nama sesuai keinginan pengelolanya.

Rencana ini dapat dilakukan, mengingat masih ada sekitar 4.000 pulau di Indonesia yang belum dikelola pemerintah. Dengan dikelola negara asing, diharapkan bisa meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.

Ditemui di kantornya, Kamis (12/1), Luhut kembali memberi penjelasan terkait dengan rencana pengelolaan pulau oleh negara asing. Menurut dia, bagi pihak asing yang ingin menyewa tanah atas pulau nantinya boleh mengusulkan kepada pemerintah.

Kemudian, ada kesepakatan nilai investasi yang dibicarakan. Ia menegaskan, semua mekanisme bisnis yang berlangsung harus sejalan dengan aturan yang berlaku di Indonesia. Luhut mengatakan, sudah banyak sistem penyewaan seperti itu.

"Gak ada hak guna, sama seperti Mandalika atau Resort Toba, sekarang Resort Toba itu 600 hektare. Ada yang masuk 20 hektare, dia mau bikin itu kawasan kampung dia ya sah-sah aja," ujar Luhut.

Mantan menkopolhukam ini kembali menegaskan, tidak ada kepemilikan asing dalam hal ini. Semua administrasi, termasuk pajak, sistem pendidikan, dan penyerapan tenaga kerja diperuntukkan bagi orang lokal.

Penamaan pulau

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, penamaan pulau di Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penamaan pulau tidak boleh menggunakan nama asing.

"Bisa nama daerah atau tokoh,"ujar Tjahjo.

 

Ia menuturkan, baru sekitar 40 persen dari seluruh pulau di Indonesia yang memiliki nama. Sejak tahun lalu, Kemendagri telah mengirimkan surat kepada gubernur, wali kota, dan bupati untuk mendata pulau-pulau di wilayahnya.

Pendataan diutamakan menyasar pulau yang belum memiliki nama.

"Pemerintah ingin mempercepat proses penamaan pulau, baik lewat Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan," kata Tjahjo.

Politikus PDIP ini menambahkan, untuk pulau-pulau yang belum berpenghuni, minimal harus ada mercusuar dan tonggak sehingga jelas batas wilayahnya. Sementara itu, terkait dengan pulau-pulau yang saat ini disewa oleh pihak asing untuk pariwisata, dia meminta pihak terkait segera melakukan pengecekan.

"Harus dicek lagi kontraknya sampai berapa lama, apakah ada peruntukan lebih bagi daerah, termasuk soal nama," ujar Tjahjo.      rep: Eko Supriyadi, Frederikus Bata, Dian Erika Nugraheny, ed: Muhammad Iqbal

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement