JAYAPURA -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, bentrok yang terjadi di Distrik Gika dan Panaga, Kabupaten Tolikara, sejak 9 April 2016 hingga kini telah menyebabkan 32 warga terluka dan satu tewas. Konflik sosial terjadi akibat persoalan pembagian bantuan dana respek yang dinilai tidak adil antardistrik. "Karena telah berlangsung sejak 9 April hingga kini, akhirnya BPBD Kabupaten Tolikara melaporkan kejadian ini kepada posko BNPB dan meminta bantuan," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Ahad (24/4).
Menurut Sutopo, tercatat satu orang meninggal dunia atas nama David Manipo (24). Sebanyak 17 orang luka berat dan 15 orang luka ringan dengan kerugian materi adalah 95 unit rumah terbakar akibat konflik. "Selain itu, juga kerusakan pertanian, penjarahan ternak, dan kehilangan harta benda, yang mana kerugian keseluruhan masih dalam perhitungan BPBD," ujarnya.
Dia menjelaskan, BPBD Tolikara, satuan kerja perangkat daerah (SKPD), TNI, dan Polri telah berada di lokasi konflik dan melakukan pendamaian antara kedua belah pihak. Namun, Sutopo melanjutkan, potensi konflik masih tinggi karena diduga ada dendam di kedua belah pihak.
Dia menambahkan, banyak warga yang mengungsi ke distrik lain, tapi BPBD Tolikara berusaha memenuhi kebutuhan dasar bagi pengungsi meskipun kendala di lapangan adalah medan yang sangat berat. "Kendaraan roda empat tidak dapat menjangkau daerah konflik karena medan sangat berat. BPBD Tolikara telah meminta agar bantuan diberikan melalui udara dengan menggunakan pesawat terbang atau helikopter," ujarnya lagi.
Dihubungi dari Jakarta, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Tolikara, Feri Kagoya, menuturkan, aksi kekerasan terjadi selama lebih dari satu pekan antara dua distrik di Tolikara.
Pemicunya, pemuka dari salah Distrik Gika merasa dirugikan terkait penyaluran dana respek. Feri menjelaskan, sesuai aturan yang berlaku, tiap distrik di Papua mendapatkan alokasi Rp 100 juta. Besarnya dana tersebut bersumber dari pemerintah pusat (APBN) dan APBD Provinsi Papua.
Aksi kekerasan tersebut masih terus terjadi hingga hari ini (24/4). "Dari dana desa itu, dana respek atau PNPM Mandiri itu. Distrik Gika merasa rugi karena dia punya hak merasa diambil oleh Distrik Panaga. Kemudian, dari Distrik Gika mereka menyerang ke Distrik Panaga. Tanggal 9 April, hari Sabtu, sampai dengan tanggal 18 kemarin baku perang. Hari ini pun masih," kata Feri, Ahad (24/4).
Feri khawatir, jatuhnya korban jiwa justru memicu dendam sehingga konflik bersenjata semakin berlarut-larut. "Itu biasa begitu. Karena satu meninggal, berarti harus kelompok-kelompok lain masuk (berperang). Meninggal dari kubu Panaga. Berarti dia sambil menunggu, memanggil pasukan-pasukan yang dia punya hubungan kekerabatan dari distrik lain."
Akibat peristiwa ini, pengungsi membanjiri distrik-distrik sekitar. Diperkirakan, jumlahnya mencapai 10 ribu jiwa. Mereka mengungsi lantaran rumah mereka sudah hangus dibakar rata dengan tanah. Hewan ternak juga banyak dijarah. Sejauh ini, BPBD Tolikara baru memberikan bantuan darurat. Bantuan berkelanjutan itu mengalami hambatan yang berat dalam penyalurannya.
Tidak ada jalan darat menuju pengungsian warga Tolikara dari pusat provinsi. Pesawat pun sulit menjangkau. Feri meminta pemerintah pusat untuk segera memberikan bantuan via penerbangan helikopter. "Kita mohon pemerintah pusat untuk (mengirim) bantuan, seperti tenda dan kebutuhan lainnya. Tempat tinggal mereka kan sudah hangus. Rumah itu sudah hilang, terbakar," ujarnya.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Soedarmo membenarkan adanya bentok di Distrik Gika dan Panaga, Kabupaten Tolikara, akibat ricuhnya pembagian Dana Respek. "Kejadian tanggal 8 dan 9 April ribut karena pembagian dana respek," kata dia saat dikonfirmasi Republika, Ahad (24/4).
Namun, ia berujar, berdasarkan laporan petugas di lapangan, bentrok antarwarga tersebut sudah selesai dan ditangani oleh pihak kepolisian setempat. Soedarmo menuturkan, Kemendagri menyayangkan sampai terjadinya bentrok akibat pembagian dana tersebut. Menurutnya, kepala daerah harus bisa mengantisipasi adanya bentrok dimaksud saat pembagian dana respek.
Menurut Soedarmo, sudah ada regulasi yang dengan jelas mengatur, yakni PP Nomor 2 Tahun 2012 dan Permen Nomor 42 Tahun 2015. Dalam regulasi tersebut, mengamanahkan kepada kepala daerah untuk mencegah terjadinya konflik sosial. "Cuma sekarang masalahnya, kepala daerahnya memahami itu atau tidak. Sebetulnya kalau kepala daerah memahami, kan ada Forkompimda, tim terpadu penanganan konflik soslial, dan lain-lain," ujarnya menjelaskan.
Soedarmo melanjutkan, jika tim terpadu tersebut diberdayakan, daerah dapat mengantisipasi terjadinya bentrokan tersebut. "Tetapi, kadang kepala daerah tak mau memberdayakan itu, dan kadang juga tak paham tentang perangkat yang sudah ada itu," tuturnya. Ia berharap, pemerintah daerah dapat meningkatkan kewaspadaan melalui perangkat yang ada. rep: Umi Nur Fadhilah, Hasanul Rizqa/antara, ed: Andri Saubani