JAKARTA — Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengakui, rancangan undang-undang terkait pembatasan transaksi penggunaan uang kartal menjadi salah satu RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019. Namun, kata Supratman, RUU tersebut tidak masuk dalam Prolegnas prioritas tahun 2016.
"Belum masuk Prolegnas 2016, tapi itu masih masuk dalam long list 2014-2019," kata Supratman saat dihubungi Republika, Senin (11/7).
Hal ini, kata Supratman, lantaran DPR masih menunggu pemerintah yang masih dalam tahap pembahasan internal. Karena, dalam hal ini pemerintah sebagai pihak pengusul RUU tersebut.
"Itu kita tunggu dari pemerintah gimana sikapnya. Jadi, semakin cepat pemerintah mengambil sikap, akan jauh lebih bagus," kata politikus Partai Gerindra tersebut.
Meski begitu, pihaknya menyambut baik jika RUU tersebut bisa segera dibahas. Hal ini karena urgensi peruntukkan RUU tersebut. Di mana salah satunya bisa mencegah tindak pidana korupsi, yakni kasus suap yang kerap menggunakan transaksi tunai.
"Saya sebenarnya setuju untuk segera dibahas secara pribadi yah. Karena itu sebagai upaya untuk pencegahan korupsi luar biasa," ungkapnya.
Terkait usulan besaran maksimal transaksi tunai sendiri, Supratman tidak mempersoalkannya. Hal yang terpenting, pembahasan itu bisa segera dibahas sebagai salah satu pencegahan korupsi.
Tak lupa, ia juga mengingatkan KPK, PPATK, ataupun pihak lainnya bahwa upaya pencegahan korupsi tidak hanya melalui pembatasan transaksi tunai. Tetapi, sejumlah akar masalah lainnya, yang berasal dari partai politik sebagai salah satu tempat yang rawan terjadinya korupsi.
"Kita juga minta KPK untuk segera selesaikan hasil kajian tentang UU soal pendanaan partai politik. Jadi, itu harus simultan karena kalau kita berpikir untuk kebaikan bangsa harus dilakukan bersamaan. Karena, kalau parpol tidak dibiayai negara, akan menimbulkan masalah yang lebih krusial lagi," ujarnya.
Sementara, mantan pimpinan KPK sementara, Indriyanto Seno, menilai, pembatasan transaksi uang tunai menjadi salah satu metode pencegahan korupsi yang efektif. Ide ini, kata dia, sebagai salah satu langkah yang perlu dibicarakan lebih dalam terkait sejumlah kasus korupsi yang muncul belakangan ini.
"Memang merupakan salah satu metode dan cara preventif atau pencegahan yang efektif dan ide ini memang cukup menarik," kata Indriyanto.
Untuk itu, sejumlah pihak perlu duduk bersama untuk kembali mengkaji lebih dalam usulan ini. Pasalnya, usulan ini tidak bisa dibicarakan hanya dari satu sisi.
"Tetapi, juga perlu masukan-masukan dari pihak lain, agar ini tidak mengganggu roda usaha dan perekonomian makro negara juga," katanya.
Sebelumnya, KPK dan PPATK mengimbau agar RUU Pembatasan Transaksi Uang Tunai ini kembali dibahas. Hal ini perlu mengingat terus meningkatnya sejumlah kasus tindak pidana korupsi yang kerap menggunakan uang tunai. Ia mencontohkan kasus gratifikasi yang ditangani KPK yang hampir sebagian besar dilakukan menggunakan uang tunai.
"Kan kita liat ya suap atau sogok yang ditangkep itu kan dalam bentuk tunai. Nah, kalau ada pembatasan tunai, kan jadi ada sanksi. Kita dorong memang sebetulnya sudah urgent sebenarnya," kata Wakil Ketua PPATK Agus Santoso, Ahad (10/7) kemarin.
Lagi pula, kata dia, banyak keuntungan dari rencana pembatasan transaksi uang tunai di Indonesia. Antara lain, mengarahkan masyarakat untuk memiliki rekening di bank yang tentu mendukung program less cash society atau masyarakat bertransaksi tanpa tunai.
"Dampaknya juga mencegah masyarakat dari uang palsu, selain juga pencegahan suap sebetulnya. Kelima, BI lebih irit cetak uangnya," ujar Agus.
Adapun jumlah pembatasan uang tunai sendiri seperti yang diusulkan PPATK, yakni sebesar Rp 100 juta.
"Rp 100 juta usulan kita, jadi misalnya kalau beli mobil Rp 400 juta, yang boleh DP itu Rp 100 juta, sisanya harusnya transfer," kata dia. rep: Fauziah Mursid ed: muhammad Hafil
***
infografis
Uang Suap Tunai yang Disita KPK
1. Damayanti, anggota DPR
- Menerima uang suap dari pengusaha 177.700 dolar Singapura pada 13 Januari 2016
2. M Sanusi, anggota DPRD DKI Jakarta
- Menerima uang suap dari pengembang Rp 1,14 miliar pada Maret 2016
3. Devianti Roachaeni, jaksa Kejati Jawa Barat
- Menerima uang suap Rp 528 juta dari Pemkab Subang pada Maret 2016
4. Akil Mochtar, Ketua MK
- Ditangkap menerima suap dari orang yang berperkara di MK Rp 2 miliar pada 3 Oktober 2014
5. Wafid Muharam, Sekretaris Kemenpora
- Ditangkap menerima suap dari pengusaha Rp 2 miliar pada 2011
Sumber: Pusat Data Republika