REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pertanian menilai tingkat akurasi data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian (Kementan) di sektor pertanian dianggap masih rendah. Padahal, data merupakan hal yang sangat penting di sektor pertanian. Jika data yang dijadikan sandaran tidak akurat, dampaknya akan terasa kemana-mana.
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Khudori, mengatakan hal tersebut dalam Diskusi Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertema "Akurasi Data dan Angka di Sektor Pertanian" di gedung PIA, Kementan, Jakarta, Selasa (17/6). Selain Khudori, diskusi tersebut dihadiri Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, Adi Lumaksono, Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementan Muhammad Tassim Billah, serta dimoderatori Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau, Teguh Boediyana.
Khudori mempertanyakan penggunaan data-data lama membuat kinerja Badan Busat Statistik sebagai lembaga resmi penyedia data dan juga Kementan. "Tidak bisa dijadikan alat pelaksanaan, monitoring, (bahkan) output juga akan melenceng. Dampaknya yang paling dirugikan pasti petani," papar Khudori.
Menurut Khudori, kesulitan dalam pengukuran secara akurat dikarenakan data yang digunakan sudah usang. Ketiadaan data terbaru membuat adanya kesepakatan untuk menggunakan data dari hasil survei yang lama. Selain itu, menurut Khudori, saat ini pengumpulan data secara administratif yang digunakan BPS dan Kementan membuat akurasi data sulit dinilai secara statistik. “Seperti eye-estimated, perkiraan dengan melihat lapangan. Harusnya menggunakan teknik statistik dan remote sensing atau teknologi penginderaan jauh untuk mendapatkan luas panen yang lebih akurat,” jelasnya.
Khudori pun meminta BPS dan Kementan melakukan penyamaan metode agar hasil yang didapat tidak berbeda. Selain itu, menurutnya anggaran yang memadai juga dibutuhkan untuk melakukan proses pengumpulan data secara akurat.
Adi Lumaksono menjelaskan rendahnya akurasi data yang diberikan merupakan hal yang relatif. Menurutnya, BPS sudah melakukan proses pengumpulan data dengan metodologi yang benar dan sudah disesuaikan dengan perkembangan teknologi saat ini. Hanya saja, semuanya kembali lagi ke pihak luar yang menilai, data tersebut benar atau tidak.
“Data ini kan menjadi evaluasi bagi berbagai pihak. Ketika datanya menunjukkan adanya prestasi yang bagus, yang bersangkutan pasti akan menerima. Di sisi lain, jika tidak, menjadi tidak percaya, tidak menerima. Kontroversi seperti itu,” kata Adi kepada Republika seusai diskusi.
Ia mengakui data yang diberikan BPS tidak 100 persen benar, baik itu sensus atau pun survei. Menurut Adi, yang menjadi permasalahannya adalah sumber data. Masih banyak responden yang tidak memberikan informasi dengan benar. “Kita masih kurang sosialisasi terhadap pentingnya data. Kalau orang tau kalau data itu penting, maka dia akan memberikan informasi yang benar,” ujarnya.
Persoalan kedua, kata dia, responden itu kan kadang sudah ada preferensi. "Contohnya ketika mendata orang miskin untuk mendapatkan bantuan. Orang kaya akan mengaku miskin supaya mendapatkan bantuan, kan begitu,” jelasnya menambahkan.
BPS pun, menurut Adi selalu melakukan evaluasi terhadap setiap proses pengumpulan data. Meski begitu, banyak faktor yang mempengaruhi akurasi, termasuk kesadaran masyarakat yang merupakan hal yang sangat penting. Selain itu, ia juga berharap agar UU No. 16 Tahun 1997 yang membahas tentang ketentuan pidana dalam menyelenggarakan kegiatan statistik segera diamandemen. “UU tahun 1997 itu kan law enforcement-nya kalo diterapkan, dengan denda sekian puluh juta itu sudah nggak relevan lagi kan,” ujarnya.
Kementan yang juga melakukan pengumpulan data pertanian mengalami permasalahan yang sama. M Tassim Billah mengatakan, sama seperti BPS, dalam pengumpulan data Kementan juga mengandalkan laporan administrasi dari petugas di lapangan. “Laporan petugas ini bukan menggunakan metode probabilitas sampling. Menurut persepsi FAO (Food and Agriculture Organization) yang benar-benar valid kan harus berdasarakan sampling survey. Kalau kita baru berdasarkan laporan petugas mantri tani, dia memandang luas sawah, ‘oh sekian’,” terang Tassim.
Mengenai penggunaan data yang sudah lama, Tassim mengatakan hal tersebut terjadi karena survei tidak dilakukan secara reguler. “Survey ini kan perlu biaya, survei itu tidak murah. Kalo biaya tidak disuport, ya akibatnya tidak dilakukan survei dan menggunakan data lama. Ujungnya memang masalah anggaran,” katanya.
Mengenai data yang dikeluarkan oleh Kementan dan BPS yang tidak sama, ia pun sepakat untuk menyempurnakan sistem pelaporan administratif dengan pelatihan petugas lapangan dengan standar yang sama. Hal ini diharapkan dapat menyamakan persepsi petugas terhadap laporan-laporan yang diberikan. n c82 ed: zaky al hamzah