Senin 04 Aug 2014 13:00 WIB

Kekerasan di Libya Berlanjut

Red:

BENGHAZI -- Pertemuan anggota parlemen terpilih Libya tak meredakan kekerasan yang terjadi di negara tersebut. Pertempuran antarmilisi bersenjata terus bergejolak di dua kota terbesar, Tripoli dan Benghazi.

Pemerintahan sementara Libya dalam pernyataannya, Ahad (3/8), menyatakan, pertempuran antarmilitan yang memperebutkan bandara internasional Libya di Tripoli menewaskan 22 orang, akhir pekan lalu. 

Menurut pemerintah, milisi bersenjata juga menyasar warga sipil dan membahayakan ribuan penduduk. Ratusan keluarga di daerah tersebut memilih mengungsi. Selain 22 tewas, setidaknya 72 orang dilaporkan terluka. Lebih dari 200 orang tewas dalam pertempuran milisi selama beberapa pekan terakhir.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:ESAM OMRAN AL-FETORI/X02867

Orang-orang berjalan di markas kelompok militan Islam Ansar al-Syariah setelah itu dibakar oleh demonstran setelah bentrokan di Ras Obeida

 

Pertempuran yang terjadi Libya saat ini boleh dibilang merupakan terburuk sejak jatuhnya rezim Muamar Qadafi pada 2011. Di Tripoli, kelompok milisi dari pesisir pantai Misrata berupaya merebut bandara dari tangan milisi dari kota pegunungan Zintan.

Sementara, di kota timur Benghazi, pertempuran pecah antara pasukan yang loyal dengan mantan jenderal Khalifa Haftar dan milisi Ansar al-Sharia. Ansar al-Sharia yang dituding sebagai kelompok Islam garis keras dilaporkan menguasai penuh Benghazi setelah memukul mundur Haftar. Pasukan pemerintah tak mampu berbuat banyak melawan kelompok Ansar al-Sharia.

Di tengah pertempuran itu, parlemen Libya yang baru saja terpilih pada Juni mencoba menggelar pertemuan perdana, Sabtu (2/8). Mereka menggelar sidang di Tobrouk, sebuah kota di Libya timur di dekat perbatasan Mesir. Pertemuan pada Sabtu itu dihadiri 152 anggota parlemen.

Ketua parlemen sementara Abu Bakr Baiera yang memimpin rapat memutuskan menunda sidang hingga anggota parlemen lainnya tiba. Pertemuan darurat ini ditujukan untuk membentuk pemerintahan sementara yang diharapkan dapat mengakhiri krisis. "Tanah kelahiran kita membara," ujar Baira. "Kita harus bekerja keras memenuhi tuntutan masyarakat dan menyelmatkan mereka dari bencana."

Aljazirah melaporkan, 200 anggota parlemen yang terpilih diharapkan dapat segera menunjuk presiden baru pada Senin (4/8) waktu setempat.

Berbeda dengan sebelumnya, AP melaporkan, mayoritas dewan berasal dari kalangan independen. Sementara, parlemen sementara sebelumnya terpecah oleh beragam faksi, seperti Islam dan sekuler. Parlemen terdahulu dianggap gagal mengendalikan milisi.

Kondisi Libya yang tak menentu telah membuat warga negara asing satu persatu meninggalkan negara tersebut. Sebuah kapal angkatan laut Yunani mengevakuasi staf kedutaan serta sekitar 200 warga yang berasal dari Yunani, Cina, dan negara lainnya. Inggris juga menutup kedubesnya dan mengevakuasi warganya di  Libya. Begitu pula Filipina. Tunisia menjadi satu-satunya pintu utama evakuasi setelah bandara di Libya tak bisa digunakan.

rep:dessy suciati saputri/ap/reuters ed: teguh firmansyah

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement