REPUBLIKA.CO.ID,Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi Anak Desa yang Mengguncang Dunia
Siapa sangka dari Dusun Jampes, Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo, sekitar 10 km dari pusat kota Kediri ini, lahirlah tokoh alim yang mendunia. Pria kelahiran Jampes, 1901 ini tidak hanya dikenal sebagai tokoh sufi, tetapi juga mahir di berbagai disiplin ilmu agama. Seperti, ilmu falak, fikih, dan hadis.
Sejak muda, ia terkenal produktif menulis karya-karya berbahasa Arab. Di bidang astronomi, ia menulis Tashrih al-Ibarat penjabaran kitab Natijat al-Miqat karangan KH Ahmad Dahlan, Semarang. Ia juga mengarang Manahij al-Amdad, penjabaran kitab Irsyad al-Ibad Ilaa Sabil ar-Rasyad karya Syekh Zainuddin al- Malibari (982 H), ulama asal Malabar, India.
Kitab setebal 1.036 halaman itu sayangnya hingga sekarang belum sempat diterbitkan secara resmi.
Selain Manahij al-Amdad, ada kitab lain berjudul Irsyad al-Ikhwan Fi Syurbat al-Qahwati wa ad-Dukhan, kitab khusus hukum minum kopi dan merokok. Dia menuliskan kitab tersebut karena kegemarannya minum kopi dan merokok ketika masih remaja.
Karya monumental yang membuat namanya melambung hingga kemancanegara adalah kitab Siraj at-Thalibin. Kitab tasawuf ini berisikan komentar atas traktat Imam al-Ghazali, pentolan sufi terkemuka abad pertengahan yang wafat pada 1111 Masehi itu.
Kitab Siraj at-Thalibin yang disusun pada 1933 ini tak hanya beredar di Indonesia dan ne gara-negara Timur Tengah, tetapi juga banyak diminati Barat, seperti Amerika Seri?
kat (AS), Kanada, dan Australia. Sebagian per g u ruan tinggi Islam mancanegara bahkan menjadikannya sebagai rujukan resmi. Kitab ini, misalnya, dijadikan kajian oleh mahasiswa pascasarjana Universitas al-Azhar Kairo, Mesir.
Popularitas kitab tersebut pun sampai di telinga penguasa Mesir ketika itu, Raja Faruq.
Pada 1934 sang raja mengirim utusan ke Dusun Jampes untuk menyampaikan keinginannya agar Syekh Ihsan al-Jampesi bersedia diperbantukan mengajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.
Namun, permintaan tersebut urung diterima lantaran kecintaan sang kiai kepada tanah kelahirannya. Ia ingin mengabdikan diri kepada warga desanya melalui pendidikan. Dedikasinya memajukan pendidikan Islam di wilayahnya itu tak lagi diragukan.
Pada 1942 pendidikan Islam di lingkungan Ponpes Jampes itu diberi nama Mufatihul Hu- da yang lebih dikenal dengan sebutan `MMH\'
(Madrasah Mufatihul Huda). Di bawah kepemimpinannya, ponpes ini menjadi destinasi belajar santri dari berbagai pelosok Tanah Air dan semakin berkembang. Pendidikan formal pun berdiri dari tingkat ibtidaiyah (selevel SD)
hingga tingkat aliyah (menegah atas).
Keluarga wali Kepakaran dan kealiman Syekh al-Jampesi tak terlepas dari faktor genetikal yang ia warisi.
Ia terlahir dari keturunan ulama. Sejak kecil ia tinggal di lingkungan pesantren agamais.
Ayahnya KH Dahlan bin Saleh dan ibunya Istianah adalah pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Jampes.
Kakeknya adalah Kiai Saleh, tokoh asal Bogor, Jawa Barat, yang menghabiskan masa mu?
da nya menimba ilmu dan memimpin pesantren.
Nasabnya masih keturunan sultan di daerah Kuningan (Jabar) yang menyambung ke Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, satu dari wali sembilan penyebar Islam di Tanah Air. Semantara, ibunya adalah anak dari tokoh ulama di Pacitan yang masih keturunan Panembahan Senapati, Sultan Agung, pendiri Kerajaan Mataram pada akhir abad ke-16.
(c62, ed: nashih nashrullah)
Bakri dan Mimpi Dilempar Batu Sang Kakek
Kekhawatiran ini ternyata terbukti. Bakri sangat gemar bermain judi, bahkan terkenal mahir. Berulang kali dinasihati, tak juga menghentikan kebiasaan buruknya itu.
Hingga suatu hari, ayahnya mengajak dia berziarah ke makam seorang ulama bernama KH Yahuda yang masih kerabat dengan sang ayah.
Selepas berziarah, suatu malam Syekh Ihsan (Bakri)
bermimpi didatangi seseorang yang berwujud kakek nya sedang membawa sebuah batu besar dan siap dilemparkan ke kepalanya. \"Hai cucuku, kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan batu besar ini ke kepalamu,\" kata kakek tersebut.
Ia bertanya dalam hati, \"Apa hubungannya kakek denganku? Mau berhenti atau terus, itu bukan urusan kakek,\" timpal Syekh Ihsan. Tiba tiba, sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syekh Ihsan hingga kepalanya pecah. Ia langsung terbangun dan mengucapkan istighfar. \"Ya Allah, apa yang sedang terjadi.
Sejak saat itu, Syekh Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Pulau Jawa. Mengambil berkah dan restu dari para ulama di Jawa, seperti KH Saleh Darat (Semarang), KH Hasyim Asyari (Jombang), dan KH Muhammad Kholil (Bangkalan, Madura) hingga Si Bakri mampu mengikuti jejak dan meneruskan estafet para tokoh terkemuka tersebut hingga ajal menjemputnya pada 15 September 1952.