Raja dalam Diri Manusia
Tiga potensi yang saling berkesinambungan dan tidak dapat dipisahkan dalam diri manusia ada tiga, pertama adalah potensi fisik. Fisik merupakan komponen penting yang sangat memengaruhi kualitas ibadah kita.
Dengan fisik yang sehat, kita mampu melaksanakan ibadah dengan baik dibandingkan dengan orang yang fisiknya lemah ataupun sakit. Menjaga kesehatan dan kebugaran fisik merupakan ibadah yang tak kalah mulianya dengan ibadah- ibadah lainnya. Jadi, jangan pernah meremehkan aktivitas olahraga.
Potensi kedua dalam diri manusia adalah potensi akal. Allah menciptakan manusia dengan akal agar mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya. Akal juga yang membedakan manusia dengan binatang. Dengan akal, manusia bisa mengelola alam yang sudah di karuniai Allah.
Namun, tidak selamanya akal menjadi peran utama dalam menyelesaikan problematika kehi dup an. Bahkan, terkadang akal cerdas yang digunakan di jalan yang salah, akhirnya mela hirkan malapetaka di dunia. Tak salah jika ke m u liaan manusia tidak dinilai dari cerdasnya akal.
Jika kita amati bukankah di negeri kita bertebaran orang pintar? Lalu, mengapa kita masih tertinggal jauh? Jawabannya hanya satu, semua potensi itu akan menjadi sia-sia jika potensi yang ketiga tidak baik.
Potensi yang ketiga adalah hati. Sumber daya yang melimpah hanya dinikmati oleh segelintir orang saja jika pengelola negeri ini masih berhati kotor. Kecerdasan mereka tidak diimbangi dengan kebersihan hati maka tidak heran jika akal manusia hanya akan mengarahkan pada kehancuran.
Bukankah, Allah memberikan aturan yang sangat indah? Bahwa mulia atau hinanya manusia hanya ditentukan oleh bersihnya hati karena hati adalah raja di dalam diri manusia.
Dua potensi fisik dan akal hanyalah para prajurit yang senantiasa mematuhi sang raja, seperti termaktub dalam Alquran surah at- Tin ayat 4-5. Dua ayat tersebut menerangkan bahwasanya Allah mengembalikan lagi kepada manusia atas apa yang telah Ia ciptakan, apakah manusia mampu menggunakan apa yang telah Allah anugerahi dengan sebaik-baiknya.
Tinggi rendahnya derajat kita di sisi Allah ditentukan oleh segumpal daging yang bersarang di dalam diri, yaitu hati.
Sofihatul Barokah
Mahasiswi Fakultas Tarbiyah Universitas Darussalam
Manusia Mahluk Politik
Kegaduhan politik pada puncak elite pemerintahan yang berkutik pada kepentingan golongan, bahkan kepentingan pribadi merupakan cermin politik negara kita hari ini. Seperti, menyoal PT Freeport yang menghebohkan.
PT Pelindo II yang mengharuskan petinggi Polri angkat kaki dari Bareskrim Polri. Fenomena tersebut menggambarkan ketidaknyamanan dalam pemerintahan, mereka berebut gagasan dan berlagak kebaikan.
Politik Indonesia hari ini memang dinamis dengan ragam kepentingan di elite politik. Tak elak, membuat sebagian masyarakat antipati dengan politik tak peduli, apalagi bangga dengan para pemimpin pemerintahan negeri ini.
Bumbu-bumbu pertikaian antarelite pemerintahan ini sama sekali membuktikan bahwa reformasi pemerintahan yang ada di Indonesia tidak berjalan dengan baik. Cita- cita reformasi yang mengusung misi perbaikan dari masa pemerintahan Orde Baru belum menunjukkan hasil yang baik, bahkan cenderung semakin memburuk.
Ada sebuah teori, di dalam politik tidak ada kawan yang abadi, tidak ada lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Menurut Plato, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Plato menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan.
Kontrol tersebut terletak di tangan kelompok-kelompok elite yang terus menerus menguasai politik, ekonomi, pendidikan, bahkan olahraga, serta mengatasnamakan agama.
Plato menjelaskan adanya hubungan dinamis antara aktivitas pendidikan dan aktivitas politik.
Meskipun secara umum dan singkat, analisis Plato meletakkan dasar bagi kajian politik dan pendidikan di kalangan ilmuwan ke generasi berikutnya. Manusia bukan hanya mahluk individu dan sosial, manusia juga sebagai mahluk politik.
Pemikiran Plato di atas mengindikasikan bahwa manusia adalah zon politocon atau mahluk politik. Sebab, politik menyangkut semua kehidupan manusia untuk memengaruhi manusia lain.
Politik adalah baik, merupakan paradigma lama yang semakin terlupakan dalam praktik politik masa kini. Meskipun semakin terlupakan, perlu ada yang membangkitkan agar elite politik kita tersadarkan dengan hal ini.
Politik merupakan tindakan publik dari seseorang yang bebas menurut Bernard Crick. Namun, setiap tindakan orang itu pasti memiliki makna. Makna dalam hal ini adalah kepentingannya dalam meraih sesuatu.
Generasi muda Indonesia yang hari ini disuguhkan dengan berbagai hal tentang dinamisme politik yang sangat buruk. Namun, masih ada harapan dari setiap roda kehidupan.
Manusia memang mahluk politik, tapi politik yang baik harus menjadi episode kehidupan dalam pemerintahan mendatang.
Penulis sepakat dengan konsep politik yang dituliskan oleh Idrus Affandi, guru besar Pendidikan Politik, Universitas Pendidikan Indonesia. Beliau menjelaskan sebuah konsep politik yang idealis, pragmatis, dan religius.
Idealis adalah nilai politik yang dibangun sesuai dengan teori. Indonesia dalam hal ini memilih teori politik trias politica yang menyeimbangkan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selanjutnya, pragmatis merupakan nilai yang berada pada tataran praktis.
Nilai berkaitan dengan strategi dan taktik yang tujuannya memajukan bangsa. Dan, yang terakhir adalah religius, berkaitan dengan keyakinan terhadap Tuhan.
Sila pertama dalam Pancasila sudah menggambarkan bahwa Indonesia adalah negara agama maka sudah seharusnya politikus kita juga beragama.
Dalam konteks politik, politikus menjalankan pemerintahan sebagai ekspresi ibadah kepada Tuhan.
Teki Prasetyo Sulaksono
Mahasiswa S-2 PKn, Universitas Pendidikan Indonesia
TULISKAN KOMENTAR ANDA Redaksi menanti komentar, usulan, saran, atau kritik Anda mengenai "Islam Digest"
termasuk usulan tema utama dengan mengirimkannya lewat e-mail ke [email protected]. Jangan lupa sertakan foto diri Anda.