Ahad 29 May 2016 15:34 WIB

Terpikat Lamun Saok

Red: Arifin

Medannya ekstrem, turunannya tajam, kalau hujan sangat licin. Perlu seharian kalau mau nyaman ke sana. 

 

Hari pertama di Padang, saya berniat langsung ke Lamun Saok. Fadhly Reza melihat ke arah pegunungan, langit lebih gelap menutupi di atasnya. `'Medannya ekstrem, turunannya tajam, kalau hujan sangat licin. Perlu seharian kalau mau nyaman ke sana,'' katanya memasang tampang serius memandangi saya dan sahabat saya, Arina.

Keesokan harinya, kami berangkat ke Lamun Saok. Dua orang pemuda, Novri dan Harry Vhirzan, menggantikan Fadhly mengantarkan kami dengan motor. `'Enaknya ke sana naik motor trill,'' kata Novri dalam perjalanan ke Kelurahan Air Hangat itu. Tak ada kendaraan umum langsung menuju lokasi. 

Dari By Pass hingga Lamun Saok hanya berjarak sekitar tiga kilometer. Di perjalanan, kami melewati sebuah rumah kajang padati yang berukir indah, milik perancang busana Henni Adly. Sebuah tempat penjualan karya tangan wanita Sumatra Barat, dengan pelataran hijau dan taman yang indah. Di perjalanan, kami menemukan jalan tanah yang dibongkar hingga berbongkah-bongkah menjadi licin di saat hujan. Semakin jauh, rumah-rumah pun semakin jarang.

Akhirnya, sampailah di ujung jalan aspal.

Di kiri kanan semak-semak menemani, menjelang siang itu, bunga-bunga sendudu yang berwarna ungu di sela-sela tanaman paku itu terlihat indah menghiasi pinggiran jalan. Tanah yang berbungkah-bungkah cukup menyulitkan perjalanan.

Menyeberangi ` jembatan' batang kayu Di sebuah warung sejumlah pemuda berjaga-jaga. Di tempat ini kami membayar Rp 5.000 per orang. Kami melanjutkan perjalanan.

Beberapa ratus meter selanjutnya kami berhenti. `'Di sini kita parkir motor,'' kata Novri.

Di dekat parkiran beratap rumbia itu, terdapat jalan turun dengan tulisan Ngungun Saok. Beberapa meter di bawahnya, seorang pemuda berjaga-jaga. Di sini, kami harus membayar Rp 3.000 per orang.

Ada dua lokasi menarik di bawah sana.

Sebuah lubuk dan air terjun. Melewati jalan menurun yang curam, kebun warga dan hutan lindung. Bentangan batang-batang pohon yang tinggi menjadi jembatan untuk mempermudah jalan. Jalan menurun selanjutnya melewati pohon dan semak-semak dipermudah dengan bantuan tali. Sisa-sisa hujan sehari sebelumnya membuat tanah yang curam itu agak licin.

Suara air terjun gemericik air terjun yang tinggi itu terdengar. Air sungai mengaliri batu- batuan terdengar menderu. Airnya jernih, hijau ke biru-biruan, berbuih-buih saat menepuk bebatuan. Arina yang selalu gembira di perjalanan tak mampu menahan kakinya untuk menapaki bebatuan, dan masuk tepian sungai.

`'Wuiiih segaar,'' teriaknya. Kami pun menyebar, menikmati pemandangan dan memotret sungai yang berdindingkan batu-batu besar itu.

Lubuk itu sepi hanya kami berempat di sana.

Ada tali membentang di pohon yang bisa digunakan untuk pegangan saat menyeberangi sungai. Akhirnya saatnya kami berpikir untuk ke Lamun Saok yang sebenarnya. Vhirzanmenawarkan jalan singkat. Menyeberangi sungai yang pada tempat kami berdiri hanya setinggi lutut.

Dari seberang jalan menanjak yang amat pendek.

Alternatif kedua, kembali ke jalan yang kami lewati semula. Dari sana, naik motor beberapa menit, dan turun dengan medan yang curam.

`'Lebih panjang dan lebih lama,'' kata Vhirzan sambil memandangi saya, satu-satunya anggota rombongan tertua dan paling lamban berjalan.

Kami saling memandang.

Walaupun jarak penyeberangan cukup pendek, kekhawatiran kami sama, apa jadinya bila ada banjir bandang? Di atas langit mulai mendung dan hujan mulai menitik.

Namun, tak ada yang memutuskan, Saya mencoba memasukkan kaki kiri sungai. Arus terasa lumayan kencang.

`'Jangan menyeberang,'' saya berusaha memantapkan diri. Tahu pula, keputusan itu berarti akan kehilangan anglefoto yang bagus dari seberang.

`'Lihatlah tali itu sekarang terendam, air sudah naik,'' ujar Arina menunjuk ke tali penyeberangan, mendukung keputusan mengambil jalan panjang.

Merosot dan merosot Jalan kembali ke atas, ke tempat parkir motor, tak begitu lama. Novri mencari jalan turun menuju lokasi Lamun. Rupanya ia tak menemukannya. Jalan setapak itu sudah tertutup. Ia memanggil Vhirzan, minta pertimbangan. Tak berapa lama kemudian, mereka mengajak kami turun. Novri ada posisi terdepan. Ia membuka jalan, menebas semak dengan golok yang dibawanya.

Jalan turun berlumpur dan licin. Bau segar bercampur dedaunan busuk ada di sekitar kami. Saya berusaha mencari pegangan di kiri kanan. `'Hati-hati, peganglah batu,'' ujar Novri, `'Batang-batang itu mungkin lapuk.''

Saya menurutinya. Arina ada di depan, dibawah saya. Jalan menurun cukup curam, terkadang 45 derajat, 50 derajat. Akhirnya saya menjangkau apa adanya. Terkadang berpegangan batang rotan, akar, atau apa pun. Duri berulang kali menancap di telapak tangan. Tak berani bertelekan pada lutut saya yang nyeri. Maka, saya memilih merosot ke sana dan kemari.

Penderitaan perjalanan ternyata tak seberapa dibanding hadiah yang tersedia di bawah. Air sungai itu bagai terkurung di antara kepungan batu. Indah sekali. Di momen foto- foto pun tak tertahankan. Tak heran begitu banyak bloggermengabadikan diri di lokasi yang indah ini.

Air di sini lebih tenang. Alangkah asyiknya bila mandi-mandi dan berenang di tempat ini sementara suara burung-burung menambah keindahan suasana alam. `'Dalamnya air sekitar satu sampai dua meter,'' cerita Novri.

Sedih juga meninggalkan air sejuk, pesona alam, dan lokasi berfoto yang menarik itu.

Kami turun dari kawasan hutan lindung itu sekitar pukul empat sore di tengah rinai hujan.

Kesempatan bertemu burung enggang pun terlewatkan. Namun, perjalanan ini memberi pengalaman yang amat mengesankan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement