Ahad 07 Aug 2016 16:55 WIB

Menyusuri Jejak Gerilya Soedirman

Red: Firman
Jendral Besar Sudirman
Foto: istimewa
Jendral Besar Sudirman

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--"Anak-anakku, Tentara Indonesia, kamu bukanlah serdadu sewaan, tetapi prajurit yang berideologi, yang sanggup berjuang dan menempuh maut untuk keluhuran Tanah Airmu. Percaya dan yakinlah, bahwa kemerdekaan suatu negara yang didirikan di atas timbunan runtuhan ribuan jiwa harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia siapa pun juga."

Cuplikan amanat tersebut diucapkan oleh Jenderal Soedirman untuk membakar semangat tentara-tentara Indonesia. Soedirman adalah seorang pahlawan Indonesia yang memiliki andil besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Pada masa remaja, Soedirman aktif berorganisasi rajin membaca buku. Soedirman bahkan lebih dulu mengawali karier menjadi seorang guru sebelum akhirnya menjadi tentara. Karier militer Soedirman dimulai ketika Jepang memasukkannya dalam pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Kiprahnya terus menanjak dan mendapat perhatian dari para tokoh elite nasional. Ketika menjadi Kepala Divisi V di Banyumas, Soedirman mendapat apresiasi besar setelah mampu mengusir pasukan sekutu dari Ambarawa pada perang pasca kemerdekaan.

Lawatan Sejarah Nasional XIV Di usia yang relatif muda yakni 31 taun, ia sudah dinobatkan menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan menyandang pangkat Jenderal.

Ketika menjadi Panglima, Soedirman me mimpin militer Indonesia menghadapi dua agresi militer Belanda. Pada agresi militer kedua, Soedirman harus melaksanakan tugasnya meski dalam keadaan yang sangat lemah. Ini karena Soedirman mengalami sakit paru-paru dan harus dioperasi. Dengan semangat dan kecintaan akan Tanah Air, Soedirman memilih untuk tetap berjuang memimpin perang dari atas tandu dan hanya satu paru-paru.

Soedirman lantas meninggalkan Yogyakarta bersama para pasukannya untuk menjalani perang gerilya melawan Belanda. Gerilya tersebut menjadi puncak kegemilangan Soedirman. Strategi itu berhasil mempersulit Belanda dan kemudian dicontoh Vietnam dalam perang melawan Amerika Serikat.

Rute gerilya Soedirman yang legendaris itu lantas dipilih menjadi rute Lawatan Sejarah Nasional (Lasenas) XIV yang digelar oleh Direktorat Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lasenas XIV diikuti sebanyak 200 orang peserta yang terdiri dari siswa SMA, guru, dosen, dan komunitas pecinta sejarah. Dengan mengusung tema "Satu Abad Jenderal Soedirman: Mengukuhkan Karakter Bangsa", peserta diajak mengunjungi Yogyakarta, Pacitan, dan Nganjuk untuk napak tilas perjuangan Soedirman mulai 25 hingga 29 Juli 2016.

"Sosok Soedirman diharapkan bisa memberikan kesadaran cinta Tanah Air dan menumbuhkan semangat untuk terus bekerja keras," ujar Direktur Sejarah Kemendikbud Triana Wulandari saat membuka perhelatan Lasenas XIV di Bangsal Kepatihan Yogyakarta.

Wakil Gubernur DI Yogyakarta Paku Alam X juga mengajak seluruh peserta Lawatan Sejarah Nasional (Lasenas) XIV mengatakan, Soedirman memiliki berbagai perilaku yang baik untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

"Kesederhanaan Jenderal Soedirman patut menjadi contoh untuk anak muda saat ini. Meski menjadi Panglima Besar, ia tetap tampil biasa-biasa saja," katanya.

Paku Alam X mengatakan, Lasenas XIV bisa mengingatkan para siswa tentang perjuangan para pahlawan dalam mempertahankan Republik Indonesia. "Tidak mudah mempertahankan Republik ini. Diperlukan kesadaran seluruh bangsa Indonesia tentang arti penting NKRI," ujarnya.

Ia berharap, kegiatan Lasenas XIV bisa menjadi ajang berbagi pengalaman dan meningkatkan wawasan peserta. "Saya juga harap peserta bisa menyebarkan kelingkung annya masing-masing tentang ketokohan Soedirman sebagai perekat kesatuan dan perjuangan," kata Paku Alam X.

Putra bungsu Soedirman

Rute Lasenas XIV dimulai dengan pembukaan di Yogyakarta. Di kota itu, peserta mengunjungi Museum Panglima Besar Jenderal Soedirman yang merupakan rumah dinas Soedirman saat menjabat panglima TNI. Kemudian, peserta berziarah ke makam Soedirman di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara. Lawatan hari itu di tutup dengan mengunjungi Museum Vredeburg untuk bertemu dengan putra bungsu Soedirman serta berdiskusi dengan beberapa peneliti sejarah.

Peserta kemudian meninggalkan Yogyakarta menuju dusun Sobo, desa Pakis, kecamatan Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. Tempat itu merupakan salah satu lokasi markas dalam perjalanan gerilya Soedirman. Di Sobo, terdapat rumah tinggal Soedirman pada masa gerilya dan juga Monumen Panglima Besar Jenderal Soedirman. Pada hari selanjutnya, lawatan bergerak ke Nganjuk, Jawa Timur untuk mengunjungi markas gerilya Soedirman di kaki Gunung Wilis.

Perhelatan Lasenas XIV memberikan kesempatan kepada para peserta untuk mengenali Soedirman lebih mendalam.

"Aneh sekali Jenderal Soedirman itu. Kondisi sedang sakit tapi rela memimpin pasukan untuk melawan musuh. Tapi, saya bangga karena Indonesia punya pahlawan seperti dia," ujar peserta Lasenas XIV dari Bintuni, Papua Barat Darius Susure.

Menengok Rumah Sang Jenderal Besar

Museum Jenderal Besar Soedirman terdapat di Jalan Bintaran Wetan Nomor 3, Yogyakarta. Museum yang dulu sempat menjadi rumah dinas Soedirman sempat beberapa kali beralih fungsi.

Bangunan museum pertama kali didirikan pada masa pemerintahan kolonial Belanda atau sekitar 1890. Bangunan itu awalnya digunakan sebagai rumah dinas Wijnchenk, seorang pejabat keuangan Pura Paku Alaman.

Pada masa pendudukan Jepang, rumah itu dikosongkan dan disita perabotnya. Pasca kemerdekaan Indonesia, bangunan itu digunakan Letkol Suharto sebagai markas Kompi Tukul. Pada 18 Desember 1945, bangunan itu menjadi kediaman resmi Soedirman setelah menjadi Panglima Besar TKR.

Soedirman dan keluarga menempati rumah itu selama tiga tahun. Ia harus me ning gal kan rumah itu untuk menghindari Belanda dan memimpin perang gerilya. Sementara istri dan anak-anaknya diungsikan ke keraton.

Pada masa agresi militer kedua Belanda, gedung itu digunakan sebagai markas militer Belanda. Setelah pengakuan kedau latan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949, bangunan itu kembali digunakan militer Indonesia sebagai markas Komando Militer Yogyakarta. Baru pada 17 Juni 1968, bangunan itu dialihfungsikan menjadi museum.

"Di museum ini terdapat koleksi benda- benda bersejarah terkait Jenderal Soedirman," ujar Kepala Museum Jenderal Sudirman Kapten Jumadi kepada para peserta Lasenas XIV.

Arsitektur bangunan seluas 1.255 meter persegi itu terlihat antik. Pintu-pintu besar dengan kayu jati membuat kesan megah rumah tersebut. Pengunjung bisa lebih dekat dengan sosok Soedirman dengan mengetahui langsung suasana kamar tidur, ruangan kerja, dan perabot-perabot yang melengkapi. Koleksi senjata yang pernah digunakan Soedirman juga dipajang di museum tersebut salah satunya senjata mesin ringan yang ia gunakan dalam pertempuran Ambarawa.

Di bagian belakang museum terdapat tambahan ruangan yang menggambarkan suasana ketika Soedirman dirawat di Ru mah Sakit Panti Rapih Yogyakarta sepulang dari gerilya. Tak lama berselang, Soe dirman wafat pada 29 Januari 1950 dalam usia 34 tahun. Ia kemudian dima kam kan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Se maki atau kini disebut TMP Kusuma Negara, Yogyakarta.  Oleh Ahmad Fikri Noor ed: Nina Chairani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement