Ahad 18 Sep 2016 16:00 WIB

Ngebut Naik Gunung

Red:

Tren pendakian gunung yang semakin populer saat ini mendorong Harni Anink mencari sensasi berbeda. Anink yang merupakan pencinta kegiatan outdoor lantas mencoba aktivitas kebut gunung. Jika pendaki gunung kebanyakan berjalan untuk mencapai puncak, Anink berlari dan menembus rintangan trek alam yang variatif.

Kebut gunung berkaitan dengan kegiatan lari lintas alam atau trail running. Istilah tersebut digunakan untuk kegiatan lari lintas alam dengan lokasi spesifik di gunung. Karyawati swasta itu mengaku, sudah sejak tahun lalu tertarik dengan kegiatan tersebut dan mencobanya. Lebih sering sih lari bersama teman. Kalau ikut lomba lari trail baru sekali, ujarnya.

Dalam kegiatan hiking, kata Anink, pendaki cenderung santai. Ia mengaku, pendaki bisa berhenti untuk makan dan minum jika merasa lelah. Sementara, dalam kegiatan kebut gunung, ia mendapat tantangan baru. Kita cenderung dikejar waktu. Jadi, tantangannya kita harus bisa menentukan target, ujar Anink.

Fisik dan logistik

Virus kebut gunung juga ikut menghinggapi Dhanang Puspita. Pria yang berprofesi sebagai dosen itu mengaku sering menemani para profesional di bidang lari trail. Ia sudah pernah berlari di beberapa gunung di Sumatra, Jawa, Bali, dan Lombok. Pengalaman paling berkesan, kata Dhanang, adalah ketika ia berlari di Merapi tak berselang lama setelah erupsi pada 2010. Saya modal nekat lari-lari di Merapi dari basecamp Selo sampai ke Pasar Bubrah. Debunya waktu itu masih selutut orang dewasa, ujar Dhanang.

Ia mengaku, olahraga kebut gunung tidak hanya untuk membuat badan sehat, tetapi bisa juga mengandung unsur rekreasi. Menurutnya, ketika lari di aspal atau jogging track, ia akan berhadapan dengan pemandangan yang cenderung monoton. Sedangkan, ketika lari di gunung, ia bisa mendapatkan pemandangan indah, udara segar, dan suasana relatif sepi. Karena pemandangan bagus, lari jadi terasa lebih menyenangkan, ujarnya.

Dhanang menjelaskan, kebut gunung adalah variasi dari olahraga lari dan kegiatan hiking. Selama ini, ujarnya, kebanyakan orang berlari di lintasan datar. Sedangkan, berlari di gunung terdapat medan yang lebih bervariasi. Ada turunan, tanjakan, jalanannya juga tidak rata, ujar Dhanang.

Kebut gunung adalah kegiatan yang memiliki risiko. Karena itu, persiapan fisik dan logistik sangat penting. Dhanang mengatakan, sepatu yang digunakan adalah sepatu khusus lari lintas alam. Berlari dalam kondisi offroad, katanya, membutuhkan sol sepatu yang lebih bergerigi, lentur, dan memiliki grip kuat dengan tanah. Jika mengenakan celana pendek, disarankan untuk mengenakan kaus kaki panjang hingga di bawah lutut. Hal itu berguna agar kaki terlindungi dari duri dan semak belukar.

Ia juga menyarankan untuk mengenakan kaus tipe dry fit yang bisa menyerap keringat. Sarung tangan juga diperlukan untuk menahan dingin dan mencegah terkena duri.

Menurut Dhanang, jenis ransel hydrobag cocok untuk kegiatan kebut gunung. Selain karena bentuknya kecil dan menempel erat ke punggung, tas jenis itu dilengkapi tabung dan selang air minum. Pelari pun tidak perlu repot-repot membuka tas ketika haus.

Dhanang mengaku, dalam kebut gunung atau lari lintas alam, barang bawaan harus efisien. Ia mencontohkan, untuk mengisi kebutuhan kalori, pelari tidak perlu membawa nasi bungkus yang berukuran besar. Hal itu bisa digantikan dengan cokelat batang. Perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) juga mutlak diperlukan untuk mengantisipasi keadaan darurat.

Di luar hal itu, kata Dhanang, pelari perlu menyesuaikan medan tempat berlari. Contohnya, jika berlari di malam hari, siapkan senter jenis headlamp. Contoh lain, jika berlari di kondisi yang cukup dingin dan berangin, gunakan windbreaker atau jaket.

Tidak memaksakan diri

Pelari lintas alam Hendra Wijaya mengatakan, persiapan fisik perlu dilakukan secara rutin baik dengan lari di jalanan maupun di gunung. Ia mengatakan, biasanya catatan waktu lari di gunung adalah tiga kali capaian waktu ketika berlari di jalanan. Artinya, jika catatan waktu lari di jalanan selama 25 menit untuk jarak lima kilometer, catatan waktu di gunung adalah 75 menit untuk jarak yang sama. Hal itu, ujarnya, karena faktor medan gunung yang memiliki banyak tanjakan dan turunan.

Untuk bisa terus memperbaiki catatan waktu, perlu dilakukan latihan secara bertahap. Jika catatan waktu terus meningkat, selanjutnya tambah jarak berlari. Biasanya kalau latihan di jalan sudah baik, ada peningkatan juga untuk lari di gunung, kata Hendra.

Hendra sudah terlibat dengan olahraga lari jarak jauh sejak 2011. Ia gemar mengikuti kegiatan lari ultra atau lari dengan jarak ratusan kilometer dan lari di medan ekstrem. Ia pernah berlari di Kutub Utara, Gurun Gobi, dan tahun depan rencananya ia akan berlari di pegunungan Himalaya.

Hendra mulai senang berlari usai mengalami kecelakaan patah tulang karena bersepeda pada 2008. Lari adalah aktivitas yang bisa ia lakukan sembari memulihkan kondisi tangannya. Tetapi, ia justru jatuh cinta pada olahraga lari, terutama lari ekstrem. Ia mengaku, lari pertama yang ia lakukan adalah lari ultra berjarak 100 kilometer di Singapura. Ini pengalaman berkesan karena ini lari resmi pertama saya dan pertama kali saya ke luar negeri, ujarnya.

Bagi Hendra, dengan berlari, ia bisa menikmati berbagai kondisi alam di dunia, seperti hutan, gurun, dan salju. Ia juga tak terlalu ambil pusing soal catatan waktu. Ia mengaku, kegiatan lari ultra adalah soal ketahanan fisik dan mental. Kalau sudah bisa finis itu ibarat sudah juara bagi diri sendiri, ujarnya.

Meski begitu, tentunya berlari mendaki gunung lebih cepat jika dibandingkan dengan berjalan. Dhanang mengatakan, untuk pendakian normal Merbabu dari basecamp hingga puncak membutuhkan waktu sekitar sembilan hingga 12 jam. Sementara, ia pernah mencatatkan waktu 2 jam 25 menit untuk mencapai puncak. Catatan waktu ketika turun, ujarnya, tidak jauh berbeda.

Dhanang mengatakan, tidak pernah mengalami pengalaman buruk ketika berlari. Kuncinya, ujarnya, adalah persiapan yang baik. Ia mengaku pernah bertemu dengan orang yang tidak membawa perlengkapan P3K dan kesulitan ketika mengalami cedera.

Selain itu, periksa juga kondisi cuaca. Jika tidak mendukung, sebaiknya tidak perlu memaksakan diri untuk berlari. Kalau hujan, misalnya, bahaya trek licin, apalagi kalau belum berpengalaman. Periksa semua perlengkapan. Jika ada yang tidak mencukupi, jangan memaksakan tetap lari, ujarnya.     Oleh Ahmad Fikri Noor, ed: Nina Chairani

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement