Ahad 25 Jan 2015 13:35 WIB

Hadapi MEA, Daya Saing Indonesia Nomor Lima

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,MALANG -- Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menilai Indonesia sering terlambat dalam merespons Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Menurut dia, Indonesia juga terlambat merespons bonus demografi yang diperkirakan akan dicapai pada tahun 2020.

Padahal, daya saing Indonesia di ASEAN sekarang berada di posisi kelima.

"Almarhum Gus Dur (Abdurrahman Wahid) sudah mengingatkan dan sering kali bicara soal membangun jaringan ekonomi di ASEAN dan menjalin kerja sama segitiga antara Indonesia-Tiongkok- India. Namun, pokok-pokok pikiran beliau selalu direspons terlambat sehingga, ketika sekarang ada MEA, kita belum siap 100 persen," katanya di Malang, Sabtu (24/1).

Dalam Seminar Penguatan Ekonomi Masya rakat melalui Sosial Entrepreneur, Khofifah mengungkapkan, potensi dari jumlah penduduk dari kerja sama segitiga itu saja sudah mencapai 60 persen dari penduduk dunia. Oleh karena itu, poros kerjasama ekonomi segitiga tersebut banyak mengkhawatirkan dunia.

Seharusnya, pangsa pasar ASEAN dikuasai Indonesia, bahkan negeri ini berpeluang menjadi negara pengekspor. Namun, Indonesia malah jadi pasar potensial.

Hanya saja, menurut dia, jika birokrasi masih rumit, banyak pungutan, perizinan sulit dan lamban, jangan harap Indonesia siap dengan ketatnya kompetisi MEA yang diberlakukan pada akhir tahun ini.

"Pengawasan kita juga longgar sehingga kita akan sulit berkompetisi dengan negara ASEAN lainnya," kata Khofifah.

Di negara maju, lanjutnya, perizinan investasi dipermudah dan cepat. Namun, pengawasan perizinan tersebut diperketat sehingga investor tak berani melanggar ketentuan.

Untuk menuju birokrasi seperti di negara maju, dalam setiap kesempatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta seluruh daerah membuat one stop service untuk mempermudah dan mempercepat izin investasi. Dengan konsep ini, birokrasi Indonesia bisa menyokong kesiapan masyarakat yang sudah mulai bersaing dengan bangsa lain.

Apalagi saat ini arus investasi yang masuk ke Indonesia sangat besar dan arus ekspor Indonesia ke kawasan Asia sekitar 18-19 persen, sedangkan ekspor ke luar Asia mencapai 80-82 persen per tahun.

"Sayangnya, investasi ini lebih condong pada sumber daya mineral yang masih mentah. Padahal, kalau sudah menjadi bahan jadi, harganya lebih mahal," ujarnya. antara, ed: Nina Chairani

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement