Ipda Denny Mahieu (49 tahun) masih ingat kejadian setahun lalu. Anggota Satgatur Polantas Polda Metro Jaya itu baru datang dari kawasan Monas di lokasi kejadian. Ia mengaku, saat itu tak mengetahui bahwa akan ada bom.
Ia mengira saat itu Presiden akan lewat dan ia pun segera melakukan tindakan pengamanan dan akhirnya terjadilah aksi bom Sarinah pada awal 2016 itu. Denny beroleh luka berat.
Saya lakukan itu demi keamanan pejabat yang lewat sini dan masyarakat yang pada lalu lalang, ujarnya. Setahun berselang, Denny belum sembuh total. Tiap hari terasa sakit (dari kepalaRed) sampai ke kaki, katanya. Ia sulit tidur tanpa bantuan obat tidur.
Denny adalah satu di antara korban dan keluarga korban bom Thamrin yang memperingati tragedi bom Sarinah di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu (14/1). Selain mereka, ada juga komunitas Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan Yayasan Penyintas.
Di tengah gerimis, mereka yang hadir berpakaian serbaputih dan pita berwarna hijau memperingatinya dengan menabur bunga di titik terjadinya ledakan bom. Yakni, di pos polisi dan depan gerai Starbucks.
Hari ini kami berkumpul memperingati tragedi setahun lalu, ujar Direktur AIDA Hasibullah Satrawi kepada wartawan di lokasi.
Berdasarkan pantauan di lokasi, sejumlah massa tersebut tampak berpa kaian serbaputih dan pita berwarna hijau. Walaupun gerimis, mereka tetap melakukan aski itu dengan lancar.
Salah satu korban luka akibat bom tersebut, Dwi Sitirembuni (34), menyampaikan harapannya kepada pemerintah agar ke depannya memperhatikan para korban secara berkesinambungan. Dengan begitu, ia dapat menjalani kehidupannya dengan normal.
Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono menga takan, sampai saat ini pemenuhan hak korban masih terabaikan.
Kompensasi sebesar Rp 1,3 miliar yang diminta para korban belum terpenuhi kendati telah mengajukan permohonan melalui lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK).
Upaya para korban terorisme di Thamrin untuk meminta kompensasi sebasar Rp 1,3 miliar belum membuahkan hasil. Penegak hukum kurang serius dan pengadilan sengaja mengabailan permintaan kompensasi tersebut, ujar Supriyadi.
Supriyadi menuturkan, dari pihak korban kasus bom Thamrin memang telah mengakses bantuan medis dan psikologis serta psikososial yang difasilitasi oleh negara. Namun, lanjut dia, untuk hak-hak lainnya yang terkait dengan hak korban masih diabaikan.
Hak restitusi tidak mungkin diberikan karena tidak ada pelaku yang akan mau membayarnya, sedangkan hak kompensasi justru diabaikan oleh pengadilan, ucapnya.
Menurut Supriyadi, pemerintah seharusnya responsif kepada penanganan korban dan bisa mengambil pelajaran dari serangkaian aksi-aksi teror terdahulu. Setidaknya memenuhi hak-hak korban yang diatur dalam UU Terorisme serta UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Kendati lukanya belum sembuh total, Denny mengaku tidak trauma dengan tragedi bom itu. Namun, di sisi lain, masalah perhatian pemerintah juga jadi harapan lelaki yang masih menjalani rawat jalan itu. Selama proses pemulihan lukanya yang paling banyak mengeluarkan biaya adalah perawatan jalan.
Sampai sekarang tidak ada (tanggungan), belum. Hanya kita memohon, kapan ya? Memohon sama Pak Presidenlah gitu. Kan bukan saya saja, ada juga yang lain, jelasnya. Oleh Muhyiddin, ed: Nina CH