Kecamuk perang saudara di Suriah belum juga berujung. Di manapun perang senantiasa membabi buta, tak pandang bulu. Begitu pun di negeri ini. Bangunan-bangunan bersejarah yang merupakan warisan peradaban Islam pada masa Abad Pertengahan tak luput dari sasaran penghancuran.
Meski secara fisik bangunan-bangunan tersebut hancur, kisah kejayaannya pada masa lalu akan terus hidup, tak lekang dimakan zaman. Sumbangsihnya terhadap berbagai bidang kehidupan akan terus menggema di antara puing-puing bangunan yang luluh lantak akibat perang.
Khususnya di bidang kedokteran, ketika peradaban Barat hari ini menunjukkan beragam kemajuan teknologi di bidang medis, Islam sejatinya telah memulainya sejak jauh-jauh hari. Islamlah yang kemudian mewariskan beragam pencapaiannya di bidang kedokteran itu untuk dunia kedokteran abad ini.
Salah satunya, apa yang disebut bimaristan. Dalam artikel berjudul "Four Medieval Hospitals in Syria" karya Nasim Hasan Naqvi, sebagaimana dikutip muslimheritage.com, istilah bimaristan berasal dari bahasa Persia yang berarti "rumah orang sakit". Kata ini kemudian diserap ke bahasa Arab lantas digunakan untuk menamai tempat merawat orang-orang sakit. Jadi, rumah sakit dalam bahasa Arab klasik disebut bimaristan. Namun, pada masa sekarang rumah sakit dalam bahasa Arab disebut mustasyfa.
Keberadaan bimaristan menjadi bukti rekaman sejarah tentang betapa tingginya peradaban Islam pada abad ke-13 M karena hampir di tiap ibu kota negara Islam terdapat rumah sakit yang telah dilengkapi dengan sekolah kedokteran, perpustakaan, dan pusat pengembangan medis. Fakta sejarah ini sekaligus menepis anggapan miring yang sering dilontarkan Barat tentang keterbelakangan kaum Muslimin di berbagai sektor kehidupan, terutama dalam ilmu pengetahuan.
Dalam sebuah buku karangan Dr Musthafa al-Siba’i dijelaskan bahwa pada zaman keemasan peradaban Islam, hampir semua rumah sakit digratiskan bagi semua lapisan masyarakat, kaya ataupun miskin, orang jauh ataupun dekat orang berpendidikan maupun tidak. Semua unsur yang ada dalam rumah sakit mendapat perhatian penuh dari segi pelayanan, makanan, pakaian, sanitasi lingkungan, sampai pembekalan pascakesembuhan. Sungguh sebuah hal yang menakjubkan, bukan?
Bimaristan dibangun oleh para ahli kedokteran Muslim sebagai pengganti kuil penyembuhan kuno. Selain melayani seluruh lapisan masyarakat, rumah sakit Islam pada masa itu juga merawat pasien dengan beragam penyakit, termasuk lepra dan kebutaan. Konsep pengobatan modern pun sudah diterapkan, yakni pasien ditangani oleh dokter yang ahli.
Cikal bakal bimaristan bermula pada sekitar 325 M. Kala itu, kerajaan Romawi mulai membangun rumah sakit untuk pertama kalinya. Dua abad kemudian, tepatnya pada 529 M, dibangunlah rumah sakit dengan istilah bimaristan di Kota Jundishapur, Persia. Di sana dibangun juga sekolah kedokteran dan laboratorium farmasi.
Ketika pasukan Islam menaklukkan Judhishapur pada 638 M, rumah sakit dan sekolah tidak dirusak, tapi dikembangkan. Sekitar seratus tahun, Jundishapur menjadi satu-satunya tempat bagi umat Islam untuk mempelajari ilmu kedokteran.
Salah satu dokter terkenal lulusan Akademi Kedokteran Jundishapur, yakni Bukhtishu, seorang Kristen Nestorian. Keturunan-keturunan Bukhtishu juga menjadi dokter sampai selama 250 tahun atau sekitar enam generasi. Bahkan, beberapa dari mereka menjadi dokter pribadi khalifah.
Pada era keemasan Islam, rumah sakit yang tersebar di kawasan Arab memiliki karakteristik yang khas. Di antaranya, melayani semua orang tanpa membedakan warna kulit, agama, serta strata sosial. Hal tersebut dituliskan Nigel Shanks dalam artikelnya berjudul "Arabian Medicine in The Middle Ages, Journal of the Royal Society of Medicine" yang terbit pada 1984.
Menjunjung tinggi toleransi
Kala itu, rumah sakit Islam dikelola pemerintah, sedangkan jabatan direktur dipegang oleh dokter. Meski memanggul nama "Islam", semangat toleransi selalu terasa. Sebab, meski berbeda agama, semua dokter dan pegawai rumah sakit dapat bekerja sama dengan baik untuk satu tujuan, yakni melayani para pasien.
Selain lintas kasta karena melayani seluruh lapisan masyarakat, rumah sakit Islam ini juga menerapkan pemisahan bangsal, yakni pasien laki-laki dan perempuan menempati bangsal terpisah. Selanjutnya, pelayanan dan pengobatan untuk pasien laki-laki dilakukan oleh dokter laki-laki. Begitu pula sebaliknya untuk pasien perempuan. Selain itu, penderita penyakit menular dirawat di tempat yang berbeda dari pasien lainnya.
Pada Abad Pertengahan rumah sakit Islam dibangun dan dilindungi oleh khalifah, sultan, atau wazir. Sedangkan, untuk kelancaran jalannya pengobatan, terdapat muhasib dan lembaga hisbah. Muhasib adalah orang yang ditunjuk oleh khalifah untuk melindungi masyarakat dari transaksi yang merugikan, termasuk di dalamnya terkait pelayanan kesehatan. Selain itu, lembaga hisbah bertugas mengatur hubungan antara pasien, dokter, dan apoteker. Dengan kata lain, merekalah yang bertugas membuat kode etik rumah sakit sekaligus yang mengawasi.
Ilmuwan Hossam Arafa dalam tulisan berjudul "Hospital in Islamic History" menyebut, bimaristan senantiasa memperhatikan pasokan air dan kebersihan kamar mandi. Dalam kondisi sehat ataupun sakit, shalat tetap merupakan sebuah kewajiban. Meski begitu, orang yang sakit mendapat keringanan untuk melaksanakan shalat berdasarkan kemampuan fisiknya.
Tenaga medis yang dipekerjakan di rumah sakit haruslah memenuhi syarat, yakni mereka yang berkualitas dan telah menguasai ilmu kedokteran. Khalifah Al-Muqtadir dari Dinasti Abbasiyah sangat memperhatikan kualitas dokter yang bertugas di rumah sakit. Untuk memastikan semua dokter berkualitas, khalifah memerintahkan kepala dokter istana, Sinan bin Tsabit, untuk menyeleksi 860 dokter yang ada di Baghdad. rep:c78 ed: wachidah handasah