Pelajaran untuk tidak membesar-besarkan hal duniawi menjadi makna paling utama yang didapatkan oleh Ahmad Juwaini dari bulan suci Ramadhan. Memaknai datangnya bulan suci Ramadhan dengan tidak membesar-besarkan hal duniawi menjadi makna yang paling utama yang bisa dipetik sekaligus menjadi pembatas keseharian oleh presiden direktur Dompet Dhuafa ini.
"Keterikatan diri manusia dengan materi berbau duniawi, yang biasa ada dalam keseharian umat manusia, harusnya bisa dilepaskan seiring datangnya kewajiban menjalani ibadah puasa Ramadhan," ujarnya kepada Republika, Selasa (30/6).
Salah satu materi bersifat duniawi yang lekat dengan umat manusia, menurut pria kelahiran Cilegon 15 Februari 1969 tersebut, di antaranya keterikatan manusia dengan makanan. Ia menjelaskan, kemampuan seorang manusia, khususnya umat Islam, yang bisa menahan lapar dan haus seharian, dimulai dari matahari terbit hingga matahari terbenam, merupakan contoh paling nyata bagaimana manusia tidak melulu identik dengan makanan.
Menurut lulusan manajemen Fakultas Ekonomi di Universitas Padjajaran Bandung itu, setidaknya ada dua hikmah yang dapat dipetik dari seseorang yang menjalankan ibadah puasa, khususnya di bulan Ramadhan. Pertama adalah bagaimana umat Islam yang menjalankan ibadah puasa, selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan, menjadi bukti kalau manusia memang memiliki kekuatan yang besar untuk mengendalikan makanan.
Selanjutnya, menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan menjadi momentum untuk menyadarkan manusia jika seorang hamba memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan Allah SWT. Segala macam hal yang bersifat duniawi seakan bahkan memang berkurang nilainya bagi manusia tersebut. Hal tersebut semakin membuatnya percaya kalau materi, khususnya makanan, bukanlah hal yang paling penting untuk manusia.
"Manusia punya kekuatan untuk mengendalikan makanan dan keterikatan dengan Allah SWT membuat hal duniawi berkurang nilainya," kata dia.
Pria yang memantapkan gelar S3 manajemen SDM di Universitas Negeri Jakarta tersebut juga memiliki memori yang indah kala menjalani ibadah puasa Ramadhan di tanah suci Makkah. Suhu panas luar biasa yang tidak biasa ia rasakan saat berada di Indonesia menjadi tantangan berat untuk dapat menuntaskan tugasnya menjalankan ibadah puasa. Namun, hal tersebut ternyata menjadi cambuk baginya untuk istiqamah.
Akan tetapi, segala upaya Ahmad terbayar lunas kala kumandang azan Mahgrib khas Saudi Arabia terdengar di seantero Kota Makkah. Usahanya dalam menahan lapar dan haus serta terbebas dari hawa nafsu kala itu seakan mendapatkan bonus tambahan manakala dijamu keramahan budaya masyarakat Arab, yang berlomba untuk menyajikan hidangan berbuka bagi siapa pun Muslim yang hendak membatalkan puasa.
Untuk bulan Ramadhan tahun ini, sekretaris jenderal World Zakat Forum itu mengaku tidak memiliki atau melakukan persiapan khusus. Hanya, ia selalu mengingatkan dirinya akan kelalaian yang mungkin ia lupakan selama satu tahun belakangan.
Datangnya bulan Ramadhan juga ia hadapi dengan meningkatkan hubungan spiritual dengan Allah SWT. Sebab, Ahmad menganggap bulan Ramadhan sebagai sarana peningkatan kualitas manusia.
Satu hal tentang menjalani ibadah puasa Ramadhan di Indonesia yang selalu ia rasakan adalah bagaimana suasana religius yang begitu terasa oleh setiap manusia, khususnya umat Islam yang menjalaninya. Tidak hanya di jalan, semarak menyambut dan menjalani puasa Ramadhan di televisi, radio, majalah, dan di banyak tempat lain adalah hal yang selalu mengukir kesan manis mantan presidium Senat Mahasiswa Universitas Padjajaran itu.
Pria yang pernah menjabat sebagai consultant for skill development project di Bank Dunia ini juga memiliki rutinitas Ramadhan bersama keluarga, yang selalu dilakukan dari tahun ke tahun. Meski tidak setiap hari bisa dilakukan lantaran banyaknya kesibukan, ia selalu berusaha mencari kesempatan di tengah kesibukan untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, baik saat sahur, berbuka puasa, maupun shalat Tarawih.
Penyuka hidangan berkuah saat santap sahur tersebut juga mengimbau kepada masyarakat Indonesia agar tidak membiarkan Ramadhan lewat begitu saja, sama seperti tahun kemarin. Penulis buku Social Enterprise itu berpesan, jangan jadikan Ramadhan hanya sebatas rutinitas. Menurutnya, harus ada sesuatu yang lain yang didapatkan. Sehingga, kata dia, Ramadhan memiliki kesan mendalam dan tidak begitu saja pergi.
"Sayang sekali jika hanya dijadikan sebagai rutinitas dan terlewat begitu saja, harus ada suatu hal istimewa yang lain agar Ramadhan menjadi terasa," kata pria yang sudah belajar berpuasa sejak umur enam tahun itu.
c25 ed: Nidia Zuraya