Umat Islam tak henti menghadapi gempuran pemikiran dari dunia Barat. Maka, perlu ada kehatian-hatian dan sikap kritis tegas dalam memahami pemikiran tersebut. Peneliti di Institute for the Study of Islamic Tought and Civilizations (INSISTS), Dinar Dewi Kania, menyayangkan masyarakat Islam banyak yang terpukau dengan pemikiran Barat.
Padahal, gagasan tersebut belum tentu sesuai dengan ajaran Islam. "Hal yang datang dari Barat kerap dirasakan sempurna, tidak perlu dikritik," ujar Dinar menyesalkan kecenderungan masyarakat Muslim.
Gencarnya pemikiran barat yang masuk ke Tanah Air membuat umat Islam seolah harus tunduk pada konsep tersebut. Alhasil, muncullah penafsiran sekuler liberal dalam beberapa bidang, salah satunya dalam konsep keperempuanan. Kenyataan getir tersebut memotivasi Dinar untuk bergabung dengan INSIST pada 2009. Bersama INSIST, ia gigih meluruskan pemikiran barat yang telanjur masuk akrab dengan masyakat Muslim di Indonesia, namun tidak selaras dengan pemikiran Islam. Contohnya, femisnisme yang sudah menyusup ke ranah sosial, politik, dan ekonomi. "Masyarakat saat ini cenderung menerima dengan tangan terbuka tanpa kritik dan itulah medan perjuangan kami," katanya.
Kegiatan Dinar di INSIST lebih pada pelurusan pemikiran fundamental tentang gaya hidup Islami. Memang, pekerjaan intelektual seperti itu sering dipandang sebelah mata. Selain tidak banyak rupiah yang dihasilkan, waktu yang terbuang pun cukup banyak. Ia hanya mengandalkan idealisme saja. "Kalau semua orang Islam menghindar dari tugas ini maka PR umat tidak akan selesai," ujar perempuan yang tengah hamil tujuh bulan ini.
Dinar sering melakukan riset yang bersifat filosofis. Hasil penelitian tersebut biasanya diterbitkan di berbagai jurnal Islami dan juga media publikasi milik beberapa organisasi pemikiran yang menginduk ke INSIST, salah satunya The Center for Gender Studies (CGS). Di CGS, Dinar menjabat sebagai direktur. "CGS lebih menitikberatkan kritik pada feminisme," kata perempuan yang hobi fotografi, membaca, dan menulis ini.
Meski tergolong organisasi kecil, penyebaran hasil pemikiran CGS tentang feminisme sangat luas. Bahkan, Dinar pernah diundang menjadi pembicara di Malaysia untuk mengulas topik tersebut. Menurutnya, sudah banyak paham nyeleneh masuk ke Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Muslim. Sebut saja fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang jelas-jelas tidak sesuai kebudayaan Indonesia dan ajaran Islam. Kalangan tersebut mencoba menarik akademisi Muslim untuk menjustifikasi perilaku mereka. "Ini mengerikan," ujar Dinar. oleh: Qommarria Rostanti ed: Reiny Dwinanda
***
Mengajarkan Pemikiran Islam
Jika tidak dibekali pendidikan agama yang mumpuni, generasi muda Muslim bisa saja terjerumus pada paham menyesatkan tersebut. Untuk itu, Dinar dan beberapa rekannya mendirikan Ma’had ‘Aly Hujjatul Islam. Institusi pendidikan tersebut menekankan kegiatannya pada kajian turats dengan memadukan metode klasik dan kontemporer.
Para penggagas Ma’had ‘Aly Hujjatul Islam, termasuk Dinar, menilai kondisi keilmuan Islam saat ini perlu dihidupkan lagi. Caranya dengan menggali konsep-konsep Islam yang mulai tenggelam oleh hegemoni epistemologi Barat. Saat menjadi pembicara di seminar-seminar, Dinar kerap mendapat pertanyaan fundamental. Ada kegalauan yang mereka perlihatkan tentang pemikiran yang menyesatkan, sedangkan untuk mengkajinya, mereka terbentur ilmu agama yang masih minim. "Kalau hanya dijelaskan di seminar, waktunya terbatas dan tidak akan cukup," katanya.
Untuk itu, Hujjatul Islam mengajarkan ilmu ushuluddin, ushul fikih, ushul tafsir, filsafat Islam, ilmu jiwa, dan tentunya bahasa Arab. Banyak mahasiswa umum yang tertarik dengan kajian Islam. Namun, jika hanya mengikuti seminar, pengetahuan yang mereka dapatkan terbatas. "Mereka butuh pendidikan yang khusus membahas ilmu agama," ujarnya. Hujjatul Islam terbuka untuk umum, dengan peserta minimal yang sudah duduk di bangku SMA dan pendidikan akan berlangsung dua tahun setiap Sabtu dan Ahad.
Saat ini Hujjatul Islam baru menerima angkatan pertama. Kegiatan belajar mengajar baru akan dimulai setelah Stadium General pada 17 Januari 2015. Kerja keras Dinar dan rekan-rekan mendekatkan metode klasik dan kontemporer tidaklah sia-sia. Terbukti, banyak yang mendaftar pada gelombang pertama ini. Latar belakang peserta cukup beragam, ada yang mahasiswa, akuntan, auditor, bahkan konsultan lingkungan.
"Alhamdullillah, masyarakat yang respons cukup banyak, saya sampai kaget," katanya.
Selain menjadi peneliti, Dinar menyempatkan waktu untuk berbagi ilmu. Saat ini, ia tercatat sebagai dosen di Pascasarjana Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti, Jakarta dan Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, Jawa Barat. Perempuan yang pernah bekerja di perusahaan penerbangan itu juga telah menelurkan satu buah novel berjudul Misi dari Langit. Buku ini menceritakan perjalanan seorang Romawi dalam mencari Tuhan. Novel terbitan Al-Kautsar tersebut menjadi media dakwah menyikapi gejala ateisme yang terjadi di kalangan anak muda. Saat ini, Dinar tengah menyiapkan novel keduanya dengan tema sentral yang sama.
Sejak masih bersekolah, orang tua Dinar lebih mengarahkannya pada jurusan pendidikan aplikatif agar mudah mendapatkan pekerjaan. Namun, hasratnya pada dunia pemikiran tak bisa terbendung. Alhasil, ia sering nongkrong di perpustakaan untuk membaca buku-buku filosofis. Dari kegemaran tersebut, Dinar mempelajari berbagai pemikiran, mulai dari pemikiran Barat sampai Islam. "Pemikiran Islam sangat kaya," ujar alumnus SMA Negeri 8 Jakarta ini.