Selasa 03 Feb 2015 17:00 WIB

Irawaty Hawari, Meluruskan Persepsi Keliru tentang Epilepsi

Red:

Mengidap epilepsi, aktivitas listrik di otak seseorang bisa menjadi abnormal. Saat itu terjadi, ia akan kejang, tampak mengalami perubahan perilaku, ataupun terkena penurunan kesadaran. Manifestasi itu saja sudah membuat orang dengan epilepsi merana. Mereka pun masih harus berhadapan dengan respons masyarakat yang kebanyakan masih belum teredukasi dengan baik.

Tak heran jika banyak orang dengan epilepsi (ODE) terpinggirkan dari lingkungannya. Ada yang bahkan sampai dikeluarkan dari sekolah, terpaksa berhenti berkarier, atau mengalami hambatan dalam kehidupan berumah tangga. ODE yang seharusnya mendapat perhatian malah akan tertekan dan depresi jika menerima perlakuan yang tak sepatutnya.

Dr Irawaty Hawari SpS mendapati keluarga dari ODE pun masih banyak yang belum "melek" tentang epilepsi yang juga dikenal dengan sebutan penyakit ayan ini. Mereka memilih menutupi keadaan sehingga membuat penanganan anggota keluarganya yang menyandang epilepsi menjadi tidak optimal. "Sering ada yang menganggap penderita epilepsi itu orang gila, kerasukan setan, atau indigo," kata dokter spesialis saraf ini.

Irawaty sudah mencermati keadaan tersebut sejak menjadi residen di poli epilepsi sekitar 2003 hingga 2004. Dalam tesisnya pun, Irawaty mengangkat kualitas hidup ODE. Setelah kuliahnya selesai, kepeduliannya terhadap ODE tak berhenti sampai situ. Pada 2006 putri psikiater kondang Prof dr H Dadang Hawari ini memutuskan bergabung dengan Yayasan Epilepsi Indonesia (YEI). Kedudukannya kala itu sebagai humas membuat Irawaty gencar menyebarluaskan informasi tentang epilepsi.

Irawaty mengisahkan ada siswa di Bogor, Jawa Barat, yang mendapat serangan (kejang) ketika pembagian rapor di sekolahnya. Setelah itu, ia malah disuruh keluar oleh gurunya. Di Bali, bahkan ada guru yang dikeluarkan karena mengidap epilepsi. "Padahal, epilepsi tidak berpengaruh pada intelektualitas seseorang," ujar perempuan kelahiran Jakarta, 3 Desember 1968 ini.

Terpilihnya Irawaty menjadi ketua umum YEI sejak 2011 membuatnya makin gencar menyebarluaskan edukasi dan berjuang menghapus stigma negatif tentang epilepsi. YEI sering mengirimkan surat berisi imbauan ke sekolah-sekolah dengan harapan tidak ada lagi perlakuan diskriminatif terhadap ODE. Ia juga mulai membuat website dan berbagai akun media sosial.

Saat bergabung di YEI, Irawaty melihat pengurus organisasi tersebut kebanyakan sudah sepuh. Ia ingin ada regenerasi agar kegiatan YEI bisa berjalan lebih optimal. Irawaty pun mengajak rekan-rekannya yang memiliki ketertarikan sama tentang epilepsi, para penderita, dan keluarga penderita untuk ikut bergabung dengan YEI.

Kehadiran YEI diharapkan mampu menekan stigma tersebut seminimal mungkin. Irawaty yang telah dikaruniai tiga anak ini berpendapat perhatian pemerintah terhadap epilepsi masih kurang. Ia berharap Kementerian Kesehatan menyediakan obat antiepilepsi dengan harga murah. "Saat ini obat antiepilepsi yang harganya murah susah didapat dan kondisi itu menyulitkan ODE yang tidak mampu," katanya prihatin.

Setiap tiga bulan, Irawaty menggerakkan YEI untuk mengadakan pertemuan. Di ajang itu, mereka saling konsultasi dan berbagi pengalaman. YEI tidak mempunyai donatur. Untuk itu, istri dari dr Asmarahadi SpKJ itu memprakarsai pembuatan buku berjudul Out of Shadow yang berisi informasi mengenai epilepsi dan berbagai cerita inspiratif dari para ODE. Hasil penjualan buku yang ditulis oleh Irawaty dan rekan-rekannya tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan YEI.

Tidak hanya dari keluarga, pandangan sebelah mata juga kadang datang dari penderita epilepsi itu sendiri. Ada yang menganggap epilepsi sebagai penyakit kampungan. "Malah ada yang berharap mengidap penyakit kanker saja dibanding epilepsi karena jelas alasan meninggalnya," ujar Irawaty.

Jika menghadapi pasien seperti itu, Irawaty pun harus pintar-pintar menenangkannya. Kalau tidak, pasien akan mengalami depresi, terutama mereka yang berusia lanjut. Beberapa dari mereka juga belum memahami pentingnya minum obat secara teratur sehingga banyak yang datang berobat karena serangan muncul kembali akibat putus obat. "Edukasi terhadap ODE dan keluarga menjadi sangat penting dan demikian juga dari keterlibatan disiplin ilmu lain, seperti psikiater, psikolog, maupun pekerja sosial," katanya.

Dari kalangan medis, ODE juga kurang mendapat perhatian. Mereka belum mendapatkan penanganan yang holistis. "Ketika ke dokter, mereka hanya ditanya mengenai masih ada atau tidaknya serangan lalu menerima resep," ujar Irawaty yang berpraktik di RS Permata Cibubur, Jawa Barat ini.

Oleh Qommarria Rostanti ed: Reiny Dwinanda

***

Peran Masyarakat

Ketika melihat ODE kejang, masyarakat yang ada di sekitar dapat membantu menjaga keselamatan penyandang ayan dengan tidak memasukkan benda ke mulutnya. Di samping itu, upayakan untuk tidak mengubah posisi tangan ODE agar tak mencederainya. "Miringkan saja tubuhnya dan singkirkan benda berbahaya dari sekitarnya," kata Irawaty memberi tips.

Epilepsi sejatinya bukan sebatas masalah medis saja. Keberadaan epilepsi di kehidupan seseorang besar pengaruhnya terhadap kondisi psikologis penyandangnya. Penyakit ini pun menjadi masalah sosial di masyarakat. Demi penanganan yang lebih optimal, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. "YEI membantu penanggulangan epilepsi, terutama dari aspek psikososialnya," ujar alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara ini.

Saat kecil, Irawaty pernah bercita-cita menjadi guru taman kanak-kanak. Namun, setelah lulus SMA, ia memilih mengikuti jejak ayahnya dengan mengambil kuliah kedokteran. Terlebih, sang ayah memang menginginkan salah satu anaknya ada yang menjadi dokter. Setelah lulus dari Universitas Tarumanegara, ia melanjutkan pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 2006. Menurutnya, mempelajari syaraf manusia tidak ada habisnya. "Semakin dipelajari, semakin kita merasa banyak yang kita tidak tahu," kata dokter yang juga berpraktik di Perum Tebet Mas Indah, Jalan Tebet Barat I, Blok E no 5, Jakarta Selatan, ini.

Irawaty berharap keahliannya di bidang saraf mampu membantu sesama, terutama penderita epilepsi yang masih terkucilkan. Sebenarnya, faktor dukungan keluarga dan lingkungan sekitar sangat besar mencegah terjadinya suatu bangkitan. "Tapi hal ini agak sukar dilakukan selama masyarakat masih memiliki stigma dan persepsi yang salah mengenai epilepsi," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement