Selasa 05 Jan 2016 17:00 WIB

Mengulik Dermatitis Atopik pada Anak dan Dewasa

Red:

Kulit merupakan bagian luar dari tubuh manusia yang berfungsi melindungi bagian dalam tubuh terhadap benda asing. Selain fungsinya sebagai selimut tubuh, kulit juga merupakan salah satu organ tubuh terbesar dengan luas permukaan total dua meter persegi dengan berat sekitar 3,6 kilogram (kg).

Bagian kulit terdiri atas tiga lapisan, yakni epidermis, dermis, serta lapisan lemak di bawah kulit atau yang biasa disebut hipodermis. Persoalannya, sebagai bagian organ terluar tubuh manusia, kulit kerap terpapar polusi dan radikal bebas. Hal ini tentu saja bisa membuat kulit kusam dan sangat rentan terserang suatu penyakit.

Sekitar 90 persen penyakit kulit penyebabnya tidak dapat diketahui, tapi 10 persen di antaranya dicurigai muncul akibat faktor lingkungan, genetik, pola hidup, tingkat stres seseorang, serta jenis makanan yang kita makan.

Contohnya, kita sering melihat anak-anak sering menggaruk-garuk kulit pada ruam tertentu. Bekas garukan tersebut membekas menjadi hitam atau bahkan timbul bintik kemerahan. Orang tuanya sering merasa khawatir dengan keadaan ini yang bahkan, terparahnya, mengakibatkan gangguan pada aktivitas anaknya sehari-hari.

Jika anak mengalami hal ini, bisa jadi dia menderita peradangan kulit akibat jenis kulitnya sensitif dan mudah teriritasi. Menurut spesialis kulit dan kelamin RS Bunda Jakarta dr Rachel Djuanda SpKK, peradangan kulit ini dikenal juga dengan istilah eksim atopik atau dermatitis atopik (DA).

DA memang umumnya berbentuk ruam dan timbul pada jenis kulit yang sensitif dan bersifat kering. Gangguan kulit ini biasanya dalam jangka waktu yang lama dan menetap pada bagian yang sama, sehingga sewaktu-waktu dapat kambuh dan sulit hilang.

"DA memang biasanya diderita oleh anak, khususnya anak yang berumur kurang dari lima tahun dengan prevalensi sembilan sampai 21 persen, umumnya karena makanan. Tapi, DA juga bisa diderita oleh orang dewasa (late onset dermatitis atopic), namun dengan prevalensi yang kecil, yakni hanya sekitar dua sampai 10 persen saja. Biasanya, akibat lingkungan dan aktivitas," katanya tentang gangguan kulit yang diadakan oleh PT SOHO di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut spesialis kulit dari klinik Bamed Skin Care, dr Adhimukti T Sampurna SpKK, masalah kulit seperti DA dan kulit kering diperkirakan juga karena faktor lain selain genetik. "Dicurigai salah satu faktor pemicunya adalah iklim kering dan tropis, seperti di negara kita ini," kata dia saat dihubungi, beberapa waktu lalu.

Dikatakannya, DA dan kulit kering merupakan faktor pemicu alergi yang sering dialami oleh orang yang hidup di daerah tropis. Makanya, kata dia, penting bagi orang dewasa maupun bayi dan anak-anak untuk menghindari beberapa faktor pemicunya.

Ada keterikatan antara DA dengan kulit kering. Kulit kering timbul akibat rendahnya produksi ceramide, terutama ceramide tipe 1 pada bagian mortar/semen kulit. Hal ini berdampak berkurangnya fungsi pelindung kulit, sehingga kemampuan kulit untuk menampung air dan siklus hidup sel korneum epidermis memendek.

"Kalau fungsinya berkurang, otomatis akan mempermudah masuknya berbagai macam benda asing seperti bakteri dan jamur ke dalam permukaan kulit. Kondisi ini akan memancing reaksi inflamasi yang menyebabkan timbulnya gejala seperti gatal-gatal dan memaksa pasien untuk menggaruk area tersebut," ungkap Rachel.

Akibatnya, kata dia, fungsi perlindungan kulit memburuk. Pada umumnya, dokter memberikan kortikosteroid atau antihistain untuk meredakan gejala penyakit tersebut, terutama sebagai penghilang rasa gatal. Namun, pengobatan tersebut tidak mampu memperbaiki fungsi pelindung kulitnya.

"Keampuhan kortikosteroid topikal sering kali digunakan secara tidak tepat dan berlebihan. Sehingga hal tersebut kerap menimbulkan efek samping jika digunakan berlebihan," ungkap Rachel. Dampaknya adalah kulit bisa berwarna lebih putih atau hitam dibandingkan area lainnya sampai menimbulkan garis seperti stretch mark. Bahkan, penggunaan steroid topikal dalam jangka waktu yang lama malah dapat membuat DA menjadi resisten terhadap obat tersebut.

Peng gunaan pelembab bisa memperbaiki fungsi perlindungan kulit (skin borrier function), mengurangi pruritus, memberikan efek antiinflamasi, dan memiliki pH yang asam. Karena itu, penggunaan pelembab kulit sejak dini perlu dilakukan, terutama bagi kulit sensitif.

"Pelembab juga dapat meningkatkan fungsi anti-mikrobial lamellar granular contents. Jika memiliki kulit kering, sebaiknya juga tidak boleh sering-sering menggunakan sabun antiseptik, karena hal ini justru dapat membuat kulit semakin kering," lanjut Rachel.

Mandi tetap perlu menggunakan sabun guna menghilangkan bakteri yang menempel di kulit, asalkan dengan kadar pH yang tinggi. "Agar kulit tetap senantiasa lembab dan jangan lupa menggunakan pelembab losion setelah mandi. Jangan terlalu sering mandi dan menggunakan air hangat bagi kulit sensitif serta menjaga pakaian selalu bersih," ungkapnya. n ed: dewi mardiani

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement