REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kebijakan dua harga BBM bersubsidi diperkirakan tidak akan dapat menekan konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Hal ini membuat impor BBM tetap tinggi tahun ini.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo menyatakan, impor tidak akan bisa ditekan. “Impor BBM pasti naik terus,” ujarnya, Selasa (23/4). Menurutnya, kenaikan tersebut disebabkan meningkatnya perekonomian Indonesia yang menstimulus pertumbuhan jumlah pemilik kendaraan dari tahun ke tahun.
Lagi pula, kendaraan yang diproduksi kini sebagian besar masih menggunakan BBM. Kalaupun hendak menggunakan gas, pemerintah masih membutuhkan waktu untuk melakukan konversi. Namun sayangnya, ia enggan menuturkan berapa kenaikan impor tahun ini. Tapi, pada April ini saja, impor BBM per harinya mencapai 385 ribu barel atau 77 juta dolar AS.
Pemerintah membeli minyak dengan harga 200 dolar AS per barel. Bila kebutuhan minyak per hari dikalikan dengan harga tersebut maka dalam setahun pemerintah akan mengeluarkan setidaknya 28 miliar dolar AS untuk membeli BBM. Hal ini belum memperhitungkan kemungkinan kembali naiknya harga minyak dunia dalam tiga kuartal ke depan.
Susilo pun mengatakan, kelangkaan solar yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan salah satunya juga disebabkan isu penerapan kebijakan dua harga BBM bersubsidi. Ia tak menampik, lamanya pengambilan keputusan telah membuat penyelewengan terjadi.
Pengusaha sengaja meningkatkan pembelian solar subsidi sehingga pasokannya minim di pasaran. Hal ini memperparah keadaan mengingat tahun ini pemerintah telah membatasi kuota solar bersubsidi. Kuota solar subsidi hanya dipatok 15 juta kiloliter (kl) dari total kuota solar tahun ini yang mencapai 46 juta kl.
Hal senada juga dikatakan Wakil Presiden Komunikasi Korporat Pertamina Ali Mundakir. Opsi dua harga BBM bersubsidi tak akan berdampak pada penurunan impor. “Impor tetap, hanya ada penghematan rupiah,” katanya.
Dalam sebulan, Pertamina menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk mengimpor BBM sebesar sembilan hingga 11 juta barel per hari (bph). Namun, rentang ini tak pasti tergantung besarnya ongkos produksi. Bila ongkos produksi kilang lebih rendah dari impor BBM maka Pertamina akan memproduksi BBM sendiri. Namun, jika terjadi sebaliknya, impor pasti dilakukan.
Pengamat migas dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kenaikan harga BBM pada mobil pribadi mungkin bisa menyelamatkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). “Tapi bukan neraca perdagangan,” ujarnya. Hal ini karena kebutuhan BBM akan tetap sama meskipun harga naik. Kecuali bila kebijakan ini paralel dengan penambahan kilang BBM dan diversifikasi energi.
Sebelumnya, impor BBM yang tinggi telah membuat neraca perdagangan RI negatif. Selama 2012, misalnya, impor minyak dan gas (migas) tercatat 42,56 miliar dolar AS. Dengan komposisi minyak mentah sebesar 10,8 miliar dolar AS, BBM 28,68 miliar dolar AS, dan gas 3,08 miliar dolar AS. Pada kuartal pertama tahun ini, neraca perdagangan migas masih tetap negatif. n sefti oktarianisa ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.