REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Intervensi terus dilakukan Bank Indonesia (BI) untuk meredam pelemahan rupiah, salah satunya dengan membeli surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder. Saat ini, lelang SBN tidak banyak menarik minat investor.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan, dari Rp 2 triliun SBN yang dilelang, hanya Rp 1,2 triliun yang terbeli. Meskipun demikian, ia menilai pasar modal Indonesia mulai berangsur pulih. Begitu pula dengan SBN yang mulai kondusif dengan kecenderungan menguat.
“Membeli SBN merupakan salah satu upaya BI dalam menjaga stabilitas moneter,” ujarnya, Jumat (14/6). Selain membeli SBN, BI juga memastikan tersedianya dolar di pasar uang.
Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar mengapresiasi langkah BI tersebut. Ia juga mendukung keputusan BI untuk menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin. Terkait SBN, Mahendra mengungkapkan, pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati pengurangan penerbitan SBN neto sepanjang 2013, dari Rp 241,3 triliun menjadi Rp 231,8 triliun.
SBN akan diterbitkan, baik di pasar domestik maupun pasar global. Bentuknya bisa berupa obligasi global atau sukuk global. Persentase penerbitan obligasi global akan ditambah menjadi 18 persen. Pemerintah juga merevisi persentase penerbitan SBN yang tadinya 15 persen dalam bentuk dolar. Hingga 29 Mei 2013, realisasi penerbitan SBN neto sudah tercatat sebesar Rp 98,8 triliun.
Sedangkan, yang dibeli kembali oleh pemerintah sudah mencapai Rp 39,4 triliun dari target pembelian kembali (buyback) Rp 100,4 triliun. Dalam keadaan tertentu, pemerintah akan masuk sendiri ke pasar obligasi. Bila diperlukan, pemerintah melakukan pembelian SBN di pasar sekunder melalui bond stabilization framework (BSF). “BSF dapat dikatakan sebagai lini pertahanan jika pasar sedang berbeda dari kondisi biasanya,” katanya.
Pengamat ekonomi Universitas Diponegoro FX Soegijanto berharap pemerintah untuk tidak mengambil kebijakan politis terkait rupiah yang tengah melemah akhir-akhir ini. Soegijanto menjelaskan, kebijakan politis perlu dihindari karena perusahaan atau investor membutuhkan kepastian untuk menentukan keputusan serta investasinya.
Bank Indonesia juga diminta untuk menjaga posisi rupiah agar mengindari risiko dan situasi yang terlampau tidak stabil. Dia menilai, pelemahan rupiah disebabkan oleh dua aspek, yakni kondisi aspek fundamental dan aspek sentimen.
Dia menjelaskan, aspek fundamental, yakni tren ekspor yang beberapa tahun terakhir mengalami penurunan, sementara aspek sentimen adanya aksi-aksi spekulatif domestik yang menimbun dolar menunggu kepastian harga BBM. “Ini menyebabkan inflasi, orang-orang simpan dolar, tapi ini masih fluktuatif karena kemungkinan bulan-bulan depan rupiah akan naik lagi,” katanya.
Pada penutupan perdagangan pekan ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat meskipun hanya satu poin. Rupiah berada di level Rp 9.886, lebih rendah dari nilai kurs Kamis (13/6) sebesar Rp 9.887. Namun, penguatan tersebut lebih banyak disebabkan oleh kurs dolar AS menghadapi tekanan jual di pasar uang Asia. Para pedagang membidik yen Jepang di tengah spekulasi kapan Bank Sentral AS (FED) mengakhiri stimulus besar-besarannya.
Pengamat pasar uang dari Citigroup Global Markets Jepang Osamu Takashima menyatakan, kenaikan yen sebagian dipicu oleh investor yang menguangkan taruhan pada penurunan mata uang Jepang. “Apa yang terjadi di pasar merupakan pembalikan dari posisi jangka pendek yen Jepang yang sedang meningkat sejak September,” katanya.
Dolar sebagian besar lebih rendah terhadap mata uang Asia-Pasifik pada Jumat. Nilai tukar dolar Singapura terhadap dolar menguat menjadi 1,2523 dari 1,2577. Rupee India menguat dari level 58,51 menjadi 57,84. Dolar Taiwan menguat dari level 29,95 menjadi 29,87. Won Korea pun menguat dari 1.135,57 menjadi 1.125,25. Selanjutnya, Peso Filipina menjadi 42,86 dari 43,15. Baht Thailand menguat dari 30,94 baht menjadi 30,57. n friska yolandha/antara ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.