REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuannya (BI Rate) sebesar 50 basis poin menjadi 6,5 persen. Kenaikan tersebut dilakukan untuk merespons kenaikan inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah.
Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan, kenaikan BI Rate ditempuh untuk memastikan inflasi yang meningkat pascakenaikan harga BBM bersubsidi dapat segera kembali ke dalam lintasan sasarannya. Inflasi diperkirakan dalam kisaran 7,2 -7,8 persen. "Namun, ada potensi inflasi berada di luar kisaran tersebut," ujarnya, Kamis (11/7).
Bersamaan dengan kebijakan tersebut, BI pun memperkuat bauran kebijakan. BI bertekad melanjutkan stabilisasi nilai tukar rupiah yang sesuai kondisi fundamentalnya dan menjaga kecukupan likuiditas di pasar valuta asing (valas). BI meyakini bauran kebijakan tersebut cukup memadai untuk mengendalikan tekanan inflasi, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, dan stabilitas sistem keuangan agar momentum pertumbuhan ekonomi dapat tetap terjaga dan bergerak pada arah yang lebih sehat.
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih menyatakan, peluang penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS cukup terbuka menyusul kenaikan BI Rate. "Kenaikan ini juga akan mencegah berlanjutnya aksi jual investor asing di pasar keuangan domestik," katanya.
Namun, analis Trust Securities Reza Priyambada mengatakan, penguatan nilai tukar rupiah hanya merupakan gejala sementara. "Selama sentimen penarikan stimulus pelonggaran kuantitatif (QE) The Fed masih berembus, maka laju dolar AS akan tetap menguat," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah dan BI seharusnya menjaga kondisi fundamental dalam negeri atau menambah suplai dolar agar rupiah tetap stabil. Sementara itu, kenaikan BI Rate dinilai belum akan terlihat dampaknya pada indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI). IHSG masih mendapatkan imbas dari menghijaunya laju pasar saham Asia. Namun, peluang IHSG untuk melemah masih cukup besar.
Ekonom Tony Prasetiantono mengatakan, walaupun BI Rate naik, perbankan diimbau untuk menahan suku bunga kredit guna mencegah tingginya kredit bermasalah (NPL). Kenaikan suku bunga kredit juga akan mengganggu pertumbuhan kredit. Bank harus dapat menjaga pertumbuhan kredit di atas 20 persen. Ia memproyeksikan jika suku bunga kredit naik, pertumbuhan kredit nasional akan berada sedikit di bawah 20 persen.
Selain menaikkan BI Rate, BI juga mengeluarkan aturan baru mengenai LTV sektor properti terkait Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) tipe tertentu. BI mewajibkan pembelian rumah kedua dan seterusnya untuk KPR dengan tipe 70 ke atas diberi bobot LTV lebih rendah. Hal ini juga berlaku bagi KPA dan kredit rumah toko (ruko) dan rumah kantor (rukan). Alasannya, karena tipe tersebut lebih berpotensi menjadi sarana investasi dan spekulasi.
Untuk pembelian rumah dan apartemen kedua tipe di atas 70 meter persegi, LTV maksimal sebesar 60 persen. Sedangkan, untuk pembelian rumah dan apartemen ketiga dan seterusnya tipe di atas 70 meter persegi, LTV maksimal sebesar 50 persen.
Pembelian pertama KPA tipe 22-70 juga diatur. Pembelian pertama KPA tipe 22-70 meter persegi, LTV maksimal sebesar 80 persen. Sementara untuk pembelian kedua, LTV maksimal sebesar 70 persen. Untuk pembelian lebih dari dua, LTV sebesar 60 persen. Selain itu, suami dan istri dianggap satu debitur dan dibuktikan berdasarkan aturan yang jelas.
Deputi Gubernur BI Bidang Pengawasan Perbankan Halim Alamsyah mengatakan, langkah ini diambil karena pertumbuhan kredit properti yang tinggi, khususnya untuk tipe di atas 70 meter persegi. Kondisi itu, menurutnya, dapat menimbulkan kenaikan harga yang melampui fundamental.
"Sehingga, terjadi fenomena masyarakat tak mampu mengambil KPR," ujar Halim. Selain itu, kebijakan ini diharapkan dapar mengurangi spekulasi dan gagal bayar dalam KPR sehingga tidak menimbulkan ketidakstabilan ekonomi. n satya festiani ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.