Kamis 12 Sep 2013 03:38 WIB
UU Ormas

UU Ormas Ancam Hak Berserikat dan Berpendapat

 Massa simpatisan dari berbagai ormas Islam melakukan aksi menolak kontes Miss World di Bundaran HI, Jakarta, Selasa (3/9).  (Republika/ Tahta Aidilla)
Massa simpatisan dari berbagai ormas Islam melakukan aksi menolak kontes Miss World di Bundaran HI, Jakarta, Selasa (3/9). (Republika/ Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Polemik soal organisasi kemasyarakatan (Ormas) terus berlanjut. Setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Ormas disahkan menjadi Undang-Undang (UU), berbagai kelompok elemen kemasyarakatan mengkhawatirkan UU ini akan mengancam hak berserikat dan berpendapat di masyarakat.

Kekhawatiran ini juga disampaikan Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) dalam sebuah diskusi penafsiran UU Ormas. Koordinator KKB Fransisca Fitri menyebut adanya kerancuan dalam praktik pengaturan ormas di Tanah Air akibat salah tafsir UU Ormas.

Menurutnya, sekelompok individu dan organisasi yang berbadan hukum atau tidak akan terkena dampak pengaturan UU Ormas. “Hasil dari kajian objektif kami, UU Ormas mengancam kebebasan berserikat dan berkumpul,” ujarnya kepada wartawan saat diskusi Kajian Penafsiran UU Ormas di Jakarta, Rabu (11/9).

Dalam penilaian Fitri, masalah sebenarnya bukan pada penambahan aturan terkait ormas, tetapi bagaimana pemerintah menguatkan pengawasan ormas. Termasuk, mempertegas penanganan bagi ormas yang anarkistis dan yang mengancam kedaulatan negara. Ia juga mengingatkan, kebebasan berserikat merupakan jantung demokrasi. Untuk itu, pemerintah perlu menjaga semangat demokrasi ini.

Anggota KKB Ronald Rofiandri menambahkan, ada kerancuan definisi dalam UU Ormas. Dan, ini berdampak pada kesalahpahaman penindakan di lapangan. Ia mencontohkan, ada beberapa pasal di UU Ormas yang seolah-olah menggabungkan ormas dan yayasan serta banyak pasal yang rancu dan saling tumpang tindih.

Berdasarkan hasil kajian, ia menerangkan, dari total 87 pasal dalam UU Ormas tersebut hanya 48 yang mengatur soal ormas, sedangkan lainnya sudah tertulis dalam UU Antiterorisme, Pencucian Uang, KUHP, dan Keterbukaan Informasi Publik. “Dan, dari 48 pasal yang mengatur ormas sebagian besarnya hanya mengatur norma administrasi saja,” kata Ronald.

Menurut Ronald, dengan adanya aturan ormas di beberapa undang-undang yang telah disahkan, artinya sudah tidak ada urgensinya menaati UU ormas ini. Ketika ditanya akankah pihaknya melakukan judicial review UU Ormas ke Mahkamah Konstitusi (MK), ia mengaku sedang melakukan persiapan untuk itu.

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah Saleh P Daulay bahkan meminta elemen ormas dan kelompok masyarakat untuk mengajukan judicial review atas UU Ormas yang dinilai akan mengancam kebebasan berserikat dan berpendapat. PP Muhamadiyah, kata Saleh, telah mengkaji perdebatan soal UU Ormas sejak masih berupa RUU. “Sekarang tinggal perjuangan judicial review di MK agar tidak ada penafsiran komunal yang cenderung destruktif dan menjadi opini yang tidak baik di masyarakat,” ujarnya.

Pihaknya saat ini masih menunggu hasil Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai petunjuk pelaksanaan UU Ormas tersebut. Ia menunggu apakah RPP ini benar-benar akan membuat langkah-langkah yang mematikan kebebasan berserikat dan memuat kebijakan ekstrem pembubaran ormas.

Sebagai organisasi kepemudaan otonom yang berada di bawah induk ormas Muhammadiyah, pihaknya pun masih menunggu kebijakan yang akan diambil Muhammadiyah, apakah akan mengajukan judicial review atau tidak. Akan tetapi, kata Saleh, pihaknya sudah melakukan kajian yang mendalam terhadap UU Ormas ini. n amri amrullah ed: chairul akhmad

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement