REPUBLIKA.CO.ID, PANGKALAN BUN — Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk tak lagi mengimpor sapi dari Australia untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Pemerintah Indonesia meyakini integrasi kebun kelapa sawit dan peternakan sapi akan mampu meningkatkan produktivitas sapi secara nasional.
“Potensi kita luar biasa, ini upaya untuk mengurangi ketergantungan pada impor sapi dari Australia,” kata Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro di sela-sela kunjungan kerja ke Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Kalteng), Ahad (24/11).
Menurut Syukur, jumlah lahan sawit yang ada di seluruh Indonesia saat ini sekitar 9,2 juta hektare. Jika setiap hektare kebun sawit diternak satu ekor sapi saja, ia melanjutkan, terdapat penambahan 9,2 juta ekor sapi siap potong per tahun. Bila hanya mengandalkan produksi sapi di Jawa dengan lahan terbatas, Indonesia tidak akan bisa bersaing. Padahal, selama ini 66 persen populasi sapi ada di Jawa.
Di tengah arogansi Australia yang telah melakukan penyadapan terhadap sejumlah petinggi Indonesia beberapa waktu lalu, kata Syukur, Indonesia justru kini harus mengupayakan kemandirian pangan. Terlebih, selama ini 60 persen ekspor sapi Australia pasarnya berada di Indonesia. “Kalau masih tergantung dengan negara lain, kita akan terus dipermainkan mereka,” ujarnya.
Lebih jauh, Syukur mengatakan, peternakan sapi melalui penggembalaan di lahan perkebunan sawit sudah berjalan sejak 2011 di Kabupaten Kotawaringin Barat. Ke depan, Kotawaringin Barat dimaksudkan menjadi pusat percontohan bagi daerah lain.
Sutiyana, Ketua Kelompok Tani Subur Makmur Pangkalan Tiga Kotawaringin Barat, mengaku, program integrasi kebun sawit dan sapi memang sangat menguntungkan. Kotoran sapi, katanya, bisa menjadi pupuk organik bagi kelapa sawit. Sedangkan, sapi bisa memakan gulma-gulma yang menganggu pertumbuhan kelapa sawit. “Jadi, minimal memelihara sapi tanpa pakan karena selama ini pakan menjadi biaya termahal dalam beternak sapi,” ujarnya.
Operator proyek percontohan pembibitan sapi yang digembalakan secara berpindah di kebun kelapa sawit, PT Kadila Jaya Achmad menambahkan, pada Juni 2011 pihaknya mendatangkan 300 ekor induk sapi jenis Brahman Cross dari Australia. Sapi-sapi itu kemudian digembalakan di kebun sawit milik PT Medco Agro.
Seiring dengan pertumbuhannya, kini sapi-sapi tersebut dua kali melahirkan anak. Pertama, menghasilkan 204 anak dan kedua 193 anak. Bahkan, anak-anak sapi kelahiran pertama sedang diseleksi untuk menjadi induk dan pejantan.
Selain Medco Argo, integrasi sapi-sawit di Kalteng saat ini juga dilakukan PT Citra Borneo Indah (CBI) dengan 997 sapi. Dari sisi pemeliharaan, kata Achmad, integrasi sawit-sapi dengan sistem pengembalaan berpindah terbilang efisien.
Hal ini disebabkan minimnya investasi kandang dan penyediaan pangan bagi peternak sapi. Sedangkan, pemilik tanaman sawit mendapat manfaat berupa pupuk kandang secara cuma-cuma dan penghematan penyemprotan bahan kimia untuk mengusir gulma.
Syukur menjelaskan, pengembangan sawit-sapi diharapkan mencapai seluas 2,8 juta hektare di lahan milik swasta dan PTPN. Integritas sawit-sapi di lahan milik swasta akan digalakkan di Riau, Bengkulu, dan Kalteng.
Adapun pengembangan di kebun sawit milik pemerintah akan difokuskan di Sumatra Utara, Riau, Jambi, Selawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Papua, dan Papua Barat. Ditargetkan, pengembangan integrasi sapi-sawit pada tahun depan mencapai 30 ribu ekor. Selanjutnya, menjadi 60 ribu ekor pada 2015 dan di 2016 mencapai 100 ribu ekor. n endro yuwanto ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.