Senin 08 Sep 2014 12:00 WIB

Qanun Jinayah Jadi Polemik

Red:

BANDA ACEH –- Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengungkapkan, usulan penerapan qanun jinayah alias hukum pidana syariat Islam untuk non-Muslim yang bermukin di Nanggroe Aceh Darussalam. Usulan tersebut dikhawatirkan sejumlah pihak di Aceh.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala Aryos Nivada menilai, perluasan penerapan qanun yang tengah digodok di DPRA tersebut berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM). "Ada aspek-aspek hak asasi manusia yang bias dilanggar," kata Aryos ketika dihubungi Republika, Ahad (7/9).

Menurutnya, potensi tersebut muncul jika hingga pengesahannya, penerapan qanun tak melibatkan kaum non-Muslim dalam pembahasannya. Ia menyatakan, sejak rancangan qanun tersebut dibahas di DPRA, belum ada pendapat non-Muslim yang dijadikan pertimbangan.

Usulan perluasan penerapan qanun jinayah tersebut terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Komisi G DPRA dengan eleman masyarakat membahas Rancangan Qanun Hukum Jinayat dan Raqan Syariat Islam di Banda Aceh, Sabtu (6/9). Dalam rancangan regulasi lokal tersebut, penerapan qanun untuk non-Muslim tercantum pada Pasal 5 huruf c.

Disebutkan dalam pasal itu, warga non-Muslim yang melakukan pelanggaran syariat Islam yang diatur dalam qanun jinayat akan mendapat hukuman sesuai yang diatur dalam peraturan tersebut. Dalam Raqan Hukum Jinayah Pasal 3 ayat 1 disebutkan, qanun tersebut mengatur tentang pelaku jarimah, jarimah dan uqubat (hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku jarimah).

Pada ayat 2 dijelaskan, yang termasuk jarimah meliputi khamar (minuman keras), maisir (judi), khalwat (perbuatan tersembunyi antara dua orang berlainan jenis yang bukan mahram), ikhtilath (bermesraan antara dua orang berlainan jenis yang bukan suami istri), zina, pelecehan seksual, dan pemerkosaan. Selanjutnya, qadzaf (menuduh orang melakukan zina tanpa dapat mengajukan paling kurang empat saksi), liwath (homo seksual), dan musahaqah (lesbian).

Aryos mengatakan, penerapan qanun tanpa kesepakatan dengan non-Muslim bisa menimbulkan konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah. Ia menilai, meksi baru sebatas usulan, penerapan qanun tersebut mesti dikaji lebih jauh.

Untuk mencegah perluasan penerapan qanun jinayah, Aryos mengatakan, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Aceh sudah merencanakan akan mengajukan petisi. Para LSM tersebut tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil Penerapan Syariat Islam.

Aryos juga menegaskan, pemaksaan penerapan qanun jinayah terhadap non-Muslim bertentangan dengan kepribadian masyarakat Aceh. "Sejak dulu, Aceh dikenal sebagai masyarakat yang toleran terhadap pemeluk agama minoritas," kata Aryos.

Di lain pihak, anggota tim ahli Komisi G DPRA Prof  Alyasa Abubakar menyatakan, penerapan qanun adalah amanat Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Ia mengatakan, penerapan qanun terhadap non-Muslim tak mutlak. "Mereka bisa memilih menggunakan hukum nasional atau menundukkan diri terhadap qanun," kata Alyasa kepada Republika, kemarin.

Menurutnya, jika peraturan pidana yang dicantumkan dalam qanun memiliki aturan serupa dalam hukum nasional, non-Muslim bisa memilih menggunakan hukum yang dipakai untuk memproses kasusnya. Begitu juga jika non-Muslim tersebut kedapatan melakukan pelanggaran bersama-sama orang Islam.

Kendati demikian, ada pengecualian untuk klausul tersebut. Jika tak ada hukum nasional yang mengatur tindak kejahatan tertentu yang dicantumkan dalam qanun, non-Muslim memang mau tak mau harus tunduk pada regulasi yang diatur dalam qanun.

Ia menegaskan, pembentukan qanun sejatinya dimaksudkan untuk mengatur tindak pidana menurut Islam yang belum diatur dalam hukum nasional. "Jadi, kita tak bermaksud menghilangkan atau mengubah. Kita hanya menambahkan. antara ed: fitrian zamzami

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement