JAKARTA — Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran (TEPPA) mencatat kinerja realisasi belanja pemerintah provinsi (pemprov) sampai dengan semester I 2014 mencapai 23 persen. Angka itu lebih rendah dari pencapaian periode yang sama tahun lalu, yaitu 31 persen.
Sedangkan, target realisasi belanja provinsi tahun ini sebesar 31 persen. Secara kumulatif, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan memproyeksikan realisasi belanja daerah (provinsi, kabupaten/kota) sepanjang semester I 2014 mencapai 31,3 persen dari total anggaran.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, terdapat tiga persoalan utama yang kerap membelenggu pelaksanaan anggaran daerah. Pertama, proporsi belanja daerah yang masih didominasi oleh belanja birokrasi, termasuk di dalamnya untuk gaji pegawai. Berdasarkan pemantauan KPPOD, pada 2013 lalu sebanyak 276 kabupaten/kota mengalokasikan 50 persen sampai 75 persen anggarannya untuk belanja birokrasi.
Kedua, penyerapan anggaran yang tidak optimal. Menurut Robert, realisasi belanja sampai semester II 2014 di kisaran 31 persen tentu memprihatinkan. Terlebih, di sisa waktu tentu pemerintah daerah harus mempercepat realisasi anggaran.
"Pertanyaannya, apakah kualitas serapan itu akan baik? Ujung-ujungnya akan banyak kegiatan yang tidak produktif," ujar Robert kepada Republika, Senin (15/9). Buruknya kinerja pelaksanaan belanja daerah berimbas pada membengkaknya SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) hingga mencapai Rp 116 triliun. "Ini bukan karena kelebihan dana atau efisiensi yang dijalankan, tapi karena kinerja pemerintah tidak optimal," kata Robert.
Ketiga, adanya maladministrasi dalam pelaporan keuangan daerah yang terindikasi dari opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tercatat baru 152 kabupaten/kota yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari total 542 kabupaten/kota.
Kurang kesadaran
Deputi V Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Tjokorda Nirarta Samadhi, menambahkan, pelaksanaan anggaran di daerah juga dipengaruhi minimnya kesadaran semua pihak bahwa APBD merupakan hak rakyat.
Khusus untuk level eksekutif dan legislatif, ego politik masih lebih besar dibanding ego publik. Ujung-ujungnya di sejumlah daerah, pengesahan APBD kerap mengalami keterlambatan. Berdasarkan evaluasi TEPPA terkait penetapan peraturan daerah untuk Tahun Anggaran 2014, tercatat tujuh provinsi yang terlambat menetapkan perda.
Secara keseluruhan, Robert mengatakan solusi untuk memperbaiki pelaksanaan anggaran daerah harus dimulai dari hulu hingga ke hilir. Pemerintah pusat, ia mengungkapkan, tidak dapat serta-merta menyalahkan pemerintah daerah. Sebab, permasalahan juga tergambar pada level pemerintah pusat.
Terutama dari sisi perencanaan. APBN disahkan per Oktober, sedangkan APBD dimulai Januari. Padahal, kata Robert, daerah pun membutuhkan waktu penyesuaian karena anggaran daerah masih bergantung kepada pusat via dana alokasi umum maupun dana alokasi khusus.
rep:muhammad iqbal ed: fitriyan zamzami
Realisasi Serapan APBD Provinsi Semester I 2014
Tertinggi:
Kalimantan Tengah 46,23 persen
Jawa Timur 40,70 persen
Lampung 39,36 persen
Maluku Utara 38,89 persen
Jawa Tengah 37,27 persen
Terendah:
Kalimantan Utara 3,95 persen
Riau 12,96 persen
DKI Jakarta 15,40 persen
Kalimantan Timur 17,23 persen
Papua 18,28 persen
Sumber: Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran
Reporter: Muhammad Iqbal