Selasa 23 Sep 2014 12:00 WIB

Dilema UU Pilkada di Aceh

Red:

Pro dan kontra terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada masih terus saja bergulir menjelang disahkan menjadi UU oleh DPR pada 25 September 2014. Pihak yang pro RUU Pilkada menilai pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang sudah berjalan selama ini memboroskan uang negara dan terjadi politik uang secara masif.

Sedangkan yang kontra, berpendapat kalau RUU Pilkada disahkan menjadi UU maka merupakan kemunduran demokrasi dan akan mengekang kedaulatan rakyat. Pemerintah telah menyiapkan dua rumusan RUU Pilkada, yakni versi pilkada tetap dipilih langsung oleh rakyat dan versi kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Dua versi rumusan tersebut menyatakan bahwa Aceh juga terikat dengan aturan pelaksanaan pilkada terbaru itu. Hal ini baik jika nantinya RUU yang disahkan menjadi UU mengatur pilkada langsung, maupun jika pilkada oleh DPRD.

Menurut akademisi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, M Jafar SH MHum, UU Pilkada tidak bisa diterapkan di Aceh karena terbentur oleh undang-undang khusus provinsi itu, yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Dalam Pasal 65 ayat (1) UUPA, Jafar mengungkapkan, dengan tegas disebutkan bahwa pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota dipilih langsung oleh rakyat. "Pasal ini dengan tegas menyebutkan pemilihan kepala daerah oleh rakyat, bukan oleh DPRD. Jadi, tidak ada tafsir dalam pasal ini," kata M Jafar yang juga mantan ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh tersebut, Senin (22/9).

Hal senada juga dikemukakan Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh (PA) Wilayah Linge Kabupaten Aceh Tengah Ismuddin. Ia mengatakan, Aceh memiliki keistimewaan yang tertuang dalam UUPA, tidak terpengaruh dengan hadirnya UU Pilkada yang baru.

"Hal itu cukup kuat bagi Aceh untuk tetap melangsungkan pilkada langsung, yang memberikan kedaulatan penuh di tangan rakyat," ujarnya. Ia berharap pemerintah pusat tidak setengah hati dalam mengimplementasikan semua hal yang terkandung di MoU Helsinki dan UUPA.

Menanggapi RUU Pilkada tersebut, Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya berpendapat bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD merupakan sebuah kemunduran dalam pencapaian prestasi demokrasi di Indonesia. "Apakah jika dipilih oleh dewan akan ada jaminan tidak terjadinya korupsi? Sedangkan, proses melobi atau membuat deal dengan dewan bukanlah hal mudah supaya mendapat dukungan," kata Wali Kota Lhokseumawe.

Gubernur Aceh Zaini Abdullah juga menolak RUU Pilkada karena pemilihan langsung oleh rakyat lebih baik. Menurutnya, pilkada langsung dipilih oleh rakyat secara langsung  merupakan sebuah bentuk ideal dari sebuah demokrasi. Demikian juga, RUU ini juga telah memangkas hak-hak politik rakyat yang telah diatur oleh konstitusi negara.

Penolakan RUU Pilkada juga disampaikan Jaringan Demokrasi Aceh (JDA) yang menilai kembalinya pemilihan kepala daerah ke sistem parlementer merupakan upaya parpol merebut suara rakyat. "Khusus bagi Aceh, RUU Pilkada oleh DPRD membuka ruang bagi rusaknya proses perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh," tulis para aktivis JDA.  antara ed: fitriyan zamzami

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement