Sabtu 09 Aug 2014 14:30 WIB
tajuk

Batasan Aborsi

Red: operator

Sepi dari publikasi, Peraturan Pemerintah (PP) No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi sudah ditandatangani sejak bu lan lalu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani peraturan tersebut pada 21 Juli 2014. PP tersebut menjadi peraturan turunan dari Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Satu poin yang penting untuk disorot dalam PP tersebut adalah Pasal 31 ayat 2. Pasal ini memuat aturan soal aborsi. Secara umum, semua orang dilarang untuk menggugurkan janin dalam kandungannya. Undang-Undang Kesehatan pun melarangnya. Cuma, dalam pasal tersebut diungkapkan pengecualian untuk aborsi.

Pengecualian aborsi ini diberikan kepada kalangan yang memiliki indikasi kedaruratan dan korban perkosaan. Mereka yang bisa terkategori masuk dalam indikasi kedaruratan adalah perempuan yang kehamilannya mengancam keselamatan jiwanya dan kehamilan yang diiringi penyakit genetik berat atau cacat bawaan dan kondisi yang bakal menyulitkan jika bayi itu lahir.

Batasan ini bersifat umum, sehingga tidak mudah untuk menemukan kondisi yang mutlak. Kenyataan ini menjadikan celah terjadinya penyalahgunaan atas pengecualian tersebut menjadi terbuka. Atas nama kedaruratan, seseorang bisa mencari pembenaran untuk melakukan aborsi, meski sebenarnya perbuatan tersebut tidak memenuhi syarat untuk dilakukan.

Karena itulah, penetapan indikasi kedaruratan untuk melakukan aborsi ini harus diawasi dengan baik oleh lembaga-lembaga terkait. Dokter yang memberikan batasan soal indikasi kedaruratan serta dokter yang menjalankan aborsi harus terus dimonitor oleh instansi berwenang. Dokumen-dokumen resmi yang menjadi dasar untuk menentukan indikasi kedaruratan juga harus menjadi syarat yang mutlak.

Persyaratan yang sebenarnya cukup mengundang kekhawatiran dalam persoalan aborsi ini adalah korban perkosaan. Langkah untuk menentukan dan memastikan bahwa seseorang yang menjalankan aborsi itu korban perkosaan tentu sangatlah kompleks.

Jika hanya melihat kondisi fisik, tidaklah mudah untuk membeda kan kehamilan yang terjadi akibat hubungan gelap dari kehamilan yang terjadi karena pemerkosaan. Hal krusial yang menjadi pem bedanya adalah kondisi mentalnya. Sebagian korban perkosaan mengalami tekanan psikis, meski hal ini belum tentu bisa menjadi ukuran mutlak. Bisa jadi, mereka yang hamil akibat hubung an gelap pun bisa mengalami tekanan mental.

Karena itulah, batas pengecualian yang berlandas pada perkosaan dalam menjalankan aborsi ini harus benar-benar diperhatikan. Jangan sampai koridor ini disalahgunakan oleh mereka yang ingin menggugurkan kandungan hanya karena tidak menginginkannya.

Dari sisi dokter atau rumah sakit yang membuka praktik aborsi juga harus benar-benar diawasi secara ketat. Pemerintah harus se cara jelas menyebutkan tempat-tempat yang dibolehkan untuk menjalankan aborsi. Dengan demikian, di luar lokasi yang disebutkan secara jelas tidak boleh menjalankan aborsi, apa pun alasannya. Pihak-pihak yang terbukti menjalankan aborsi liar harus mendapat sanksi yang berat.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement