Pemerintahan baru di era Jokowi–JK tampaknya harus langsung berhadapan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Indikasi ini terlihat dari sinyal bahwa harga BBM akan naik yang terbukti dari ketidakmampuan menjaga kuota BBM pada APBN sehingga target besaran subsidi jebol.
Oleh karena itu, kebijakan pembatasan konsumsi BBM diberlakukan. Hal ini berpengaruh positif terhadap alokasi kuota BBM, di sisi lain, justru memicu ancaman sosial karena terjadi antrean panjang calon pembeli BBM di berbagai daerah. Konsekuensinya tentu terjadi panic buying dan ancaman terhadap penimbunan BBM akan terjadi. Bahkan, kasus kebakaran salah satu saluran pipa solar belum lama ini juga diindikasikan karena perilaku pencurian.
Dilema kebijakan kenaikan harga BBM memang sangat pelik karena tidak hanya aspek finansial terhadap anggaran negara, tetapi juga implikasi pada mata rantai dampak yang ditimbulkannya. Artinya, setiap kenaikan harga BBM jelas akan memberikan efek berantai dan ancaman terhadap inflasi tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, penentuan besaran kenaikan harga BBM pastilah dihitung secara cermat oleh pemerintah. Relevan dengan hal ini, tentu tidak bisa mengelak dari fakta konsumsi riil rata-rata Premium yang mencapai 30 juta kiloliter per tahun.
Sistematis
Pemerintah menyadari bahwa persoalan BBM sangat pelik dan implikasi setiap kenaikan harga BBM Rp 1.000 akan memacu inflasi 0,2–0,3 persen. Besaran ini tentu menimbulkan ancaman serius terhadap kesejahteraan sosial dan kalangan menengah–bawah yang paling merasakan dampak kenaikan harga BBM.
Padahal, salah satu faktor yang langsung berhubungan erat dengan kenaikan harga BBM adalah terjadinya kenaikan harga pangan. Indikasi ini kemudian menjadi argumen terkait fakta ancaman kemiskinan. Kondisi ini semakin diperparah ketika daya beli masyarakat kian tidak terjangkau terhadap pemenuhan kebutuhan pangan.
Problem pelik harga BBM dan imbasnya terhadap sektor pangan pada dasarnya menjadi acuan penentuan anggaran negara. Padahal, Tim Transisi pemerintahan Jokowi–JK menegaskan jika harga minyak dunia dipatok 105 dolar AS, harga Premium seharusnya Rp 10.461 per liter. Artinya, dengan kondisi riil sekarang ketika Premium dijual Rp 6.500, besaran subsidi yang dibayar pemerintah mencapai Rp 3.961 per liter. Kalkulasi nilai subsidi yang dibayar anggaran negara relatif cukup besar dan anggaran pada APBN Perubahan 2014 mencapai Rp 5 triliun.
Ironi dari problem pangan dan BBM menjadi indikasi kuat bahwa pemerintahan baru di era Jokowi–JK akan menaikkan harga BBM dan hal ini sedang menjadi kajian oleh Tim Transisi. Paling tidak, kenaikan harga lebih mencerminkan realitas yang harus dihadapi masyarakat, terutama terkait kemampuan daya belinya.
Artinya, kenaikan harga lebih menjamin kepastian ketersediaan BBM daripada model kebijakan yang telah dilakukan pemerintah melalui pembatasan pembelian konsumsi BBM yang justru kian menambah panjang antrean BBM di berbagai daerah. Padahal, langkah ini secara tidak langsung juga memicu panic buying dan menghambat aktivitas perdagangan, termasuk juga suplai pangan ke berbagai daerah.
Relevan dengan dampak sosial dari kebijakan harga BBM, maka beralasan jika saat ini pemerintah juga sedang menghitung besaran kompensasi yang harus dikeluarkan. Nilai besaran kompensasi khusus untuk desa pada APBN 2015 diperkirakan naik mencapai Rp 500 juta per desa. Harapan dari alokasi ini adalah meningkatkan kegiatan ekonomi di desa yang selama ini masih diyakini sebagai salah satu sumber produksi pangan. Hal ini juga diperkuat komitmen pemerintah membangkitkan ekonomi kreatif yang berbasis potensi sumber daya lokal. Jika dicermati, sinergi antara dana ekonomi desa dan ekonomi kreatif adalah tindak lanjut dari model kebijakan era otonomi daerah yang memungkinkan daerah mengembangkan potensi ekonominya.
Berkelanjutan
Hal yang justru menjadi persoalan, yaitu apakah dengan besaran dana desa tersebut mampu mereduksi ancaman sosial dari dampak kenaikan harga BBM? Pertanyaan ini wajar saja mengemuka karena dampak simultan dari setiap kenaikan harga BBM cenderung sangat kompleks dan inflasi menjadi konsekuensi yang tidak bisa dihindari.
Artinya, ancaman terhadap harga pangan menjadi problem serius dan tentu akan memicu sentimen negatif terhadap akumulasi kemiskinan. Padahal, jumlah penduduk miskin pada 2013 mencapai 28,55 juta jiwa. Meski terjadi penurunan jumlah penduduk miskin dibanding pada 2010 yang mencapai 31,02 juta jiwa, dengan target pertumbuhan 5,7 persen pada 2014, problem kemiskinan tampaknya masih menjadi isu krusial jika dikaitkan dengan dampak kenaikan harga BBM nantinya.
Mencermati kalkulasi dampak sosial-ekonomi dari kenaikan harga BBM, maka besaran subsidi dan kompensasi juga perlu dicermati. Oleh karena itu, pemerintahan baru di era Jokowi-JK harus lebih cermat melihat persoalan ini karena taruhannya adalah legitimasi pemerintahan yang baru dihasilkan dari pemilu kemarin. Memang tidak mudah melihat persoalan ini dan kebijakan harus diambil oleh Jokowi–JK, apa pun itu.
Edy Purwo Saputro
Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Solo