Sejak diluncurkan pada 27 Mei 2011 di Jakarta Convention Center, program mercusuar yang terangkum dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) telah merealisasikan 382 proyek. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Alisjahbana mengklaim proyek ini sudah sesuai target alias cukup berhasil.
Di antara kunci keberhasilan proyek berbiaya hingga Rp 854 triliun itu ditunjukkan dengan kemanfaatan proyek tersebut yang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Dana sebanyak Rp 544 triliun di antaranya dikucurkan untuk pembangunan di luar Jawa yang memberikan efek berantai pada pembangunan kewilayahan.
Program MP3EI tidak bertumpu di Jawa. Di koridor ekonomi Sumatra, misalkan, terdapat 41 proyek infrastruktur dan 24 proyek sektor riil. Di koridor Kalimantan ada 47 proyek infrastruktur dan 47 sektor riil.
Armida menyebut proyek yang direalisasikan dalam MP3EI ini bukan proyek 'kacangan', melainkan proyek-proyek yang bersifat strategis. Dari 382 proyek yang telah berjalan, 208 di antaranya proyek infrastruktur dan 174 di sektor riil.
Pendanaan proyek MP3EI tergolong berhasil menyerap kontribusi dari investor swasta maupun BUMN. Sebesar 38 persen atau sekitar Rp 157 triliun pendanaan proyek MP3EI diserap dari investor BUMN, 32 persen atau Rp 133 triliun dari pemerintah, dan tujuh persen atau Rp 29 triliun kontribusi swasta.
Signifikansi proyek ini bukannya tanpa kendala. Magnitudo MP3EI semestinya bisa lebih besar lagi jika tidak terhambat sulitnya pembebasan lahan. Pemerintah selalu berdalih permintaan ganti rugi yang tinggi menjadi faktor lain molornya proyek itu direalisasikan.
Tantangan lain proyek infrastruktur adalah dari perbankan. Seberapa besar sumbangan perbankan nasional maupun luar negeri dalam mendukung pendanaan bagi proyek-proyek MP3EI. Kembali lagi pada bagaimana membungkus proyek ini menjadi sesuatu yang menarik dunia perbankan.
Karena itu, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mendatang harus bisa memecahkan persoalan klasik ini. Mengapa demikian? Sebab, infrastruktur menjadi sarana vital dan kebutuhan mendesak bagi siapa pun yang memimpin Indonesia masa depan.
Dua program yang sering didengung-dengungkan Presiden terpilih Joko Widodo adalah pembangunan tol laut dan jalur rel ganda. Pembangunan tol laut bisa dimulai dengan pembenahan 22 pelabuhan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dibutuhkan biaya lima miliar dolar hingga enam miliar dolar untuk membenahi 22 pelabuhan itu selama lima tahun. Tentu bukan biaya kecil. Pembenahan pelabuhan diharapkan bisa memberikan kontribusi tambahan 0,31 persen pada pertumbuhan ekonomi.
Menko Perekonomian Chairul Tanjung menyebut program MP3EI sebenarnya sudah sangat komprehensif. Proyek-proyeknya mencakup konektivitas yang berbasis pada sarana darat, laut, dan udara. Termasuk, rute-rute pelabuhan yang menjadi jalur distribusi maupun arus barang dari satu pulau ke pulau lain.
Jika demikian adanya, pemerintahan Jokowi mendatang harus meninjau ulang realisasi proyek MP3EI yang sudah berjalan, sedang dikerjakan, maupun yang bakal diwujudkan. Namun, pengerjaan proyek-proyek infrastruktur tetap harus masuk dalam skala prioritas utama.
Kerusakan jalan, ambruknya jembatan, ketiadaan pelabuhan, kurang tersebarnya bandara, tidak adanya transportasi massal, maupun sarana transpotasi lain jelas menghambat roda pembangunan. Sejumlah pengamat menyebut, Indonesia harus membenahi sarana infrastruktur ini pada 2025 sebagai batas akhir.
Jika tidak, ancaman Indonesia masuk dalam negara middle income trap bakal terjadi. Karena itu, kinilah saatnya pemerintahan Jokowi-JK fokus pada pembangunan infrastruktur.