Banyak anak didik kita yang terjebak berbagai tindakan menyimpang. Ada yang berprofesi sebagai "ayam sayur" (pekerja seks komersial), ada yang masuk dalam dunia hitam pemakai dan pengedar narkoba, ada yang terlibat tawuran pelajar, dan tindakan menyimpang lainnya. Ada apa dengan model pendidikan kita?
Memang, pendidikan karakter tidak mudah diajarkan di sekolah. Agama yang dituntut menjadi motor penggerak pendidikan karakter di sekolah acap kali tidak connected (nyambung) dengan berbagai aktivitas pendidikan di sekolah. Agama bahkan sering terkooptasi dalam model pendidikan "kuantitatif" (semua serba diberikan skor yang bersifat kognitif). Padahal, agama semestinya menggunakan penilaian kualitatif dengan mengukur aspek utamanya adalah afeksi dan psikomotor bukan pada aspek kognitif.
Dalam Kurikulum 2013, pendidikan karakter menjadi fokus utama. Karakter yang dikembangkan adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Pada dasarnya anak didik memiliki nilai-nilai itu semua. Namun, karakter yang baik akan bisa muncul kalau mereka melihat contoh dari guru, orang tua, dan lingkungan (masyarakat)-nya. Emile Drkheim menyebutkan, karakter yang ada dalam individu-individu adalah social fait (fakta sosial) di mana orang dipaksa melakukan peran tertentu (externality) dan mengatribusikan dirinya pada hal-hal yang sudah terlembaga (general) dalam masyarakat. Jika masyarakatnya memiliki kecenderungan nilai-nilai positif, akan terbentuk karakter individu yang baik.
Anak-anak didik kita banyak kehilangan figur teladan. Doktrin di sekolah dengan tujuan mengembangkan "karakter bangsa" justru banyak terhambat oleh berbagai persoalan implementasinya.
Pendidikan kapitalistis
Nilai-nilai kapitalistis dari sistem pendidikan kita mewarnai pola pikir sebagian masyarakat. Mereka tidak mempersoalkan biaya pendidikan sepanjang lembaga-lembaga pendidikan berbau (promosi) internasional. Masyarakat tidak memedulikan substansi makna internasional dengan hasil pendidikan yang membangun karakter bangsa yang berkepribadian Pancasila.
Kasus tindakan kekerasan terhadap anak di Jakarta International School dapat menjadi model pendidikan yang kapitalistis. Para orang tua seakan bangga jika anaknya dapat masuk ke sekolah berlabel "internasional".
Substansi pemaknaan "international" cenderung diartikan "bergaya" internasional dibandingkan dengan bermakna nilai-nilai "kompetensi" internasional. Bergaya internasional lebih mengarah kepada bagaimana mengambil "lifestyle" atau "budaya Barat" (modernism) seperti bagaimana mengajarkan table manner (cara makan), menyukai makanan-makanan, cara berbicara (komunikasi), model kemandirian tanpa peduli lingkungan, dan rasa ingin tahu yang tidak bernilai.
Dengan demikian, substansi pendidikan karakter bangsa dilupakan demi meraih "bergaya internasional". Biaya besar yang dikeluarkan hanya untuk show of force pengakuan status sosial ekonomi (SSE) tinggi. Pendidikan yang telah dibayar mahal tidak memberikan jaminan untuk bisa meraih karakter bangsa. Boleh jadi, produksi pendidikan kapitalistis melahirkan karakter arogan, tidak mau melihat ke dalam (inward looking) diri bangsa, berorientasi semua serbainternasional yang belum tentu positif.
Pendidikan kapitalistis bahkan menghadirkan pengelompokan lembaga pendidikan favorit, unggulan, dan biasa. Stigmatisasi pada lembaga pendidikan semacam ini hanya melahirkan diskreditasi terhadap anak didik oleh para pendidik dan fasilitas pendidikan yang disediakan negara. Padahal, kontribusi sekolah dan guru terhadap kualitas pendidikannya lebih banyak ditunjang oleh lembaga bimbingan belajar (bimbel) dibandingkan kontribusi guru dalam meraih prestasi masuk ke perguruan tinggi negeri ternama.
Kewajiban negara adalah menyediakan perangkat pendidikan yang mencukupi untuk dapat melahirkan generasi muda berkarakter. Perangkat utama yang harus disediakan negara adalah kualitas atau kompetensi guru agar merata pada semua lembaga pendidikan di Indonesia. Kualitas guru di Papua harus sama dengan guru di Jakarta dan Aceh.
Pendidikan yang kapitalistis ini jika dibiarkan terus hadir akan membahayakan cita-cita pendidikan menuju bangsa berkarakter. Para pemimpin negara di masa datang akan didominasi oleh anak didik produk pendidikan kapitalistis. Mereka beranggapan bahwa biaya mahal yang telah dikeluarkan harus break-even point (BEP) saat masuk ke dunia kerja.
Pendidikan kapitalistis bisa menjadi benih penyimpangan saat masuk ke dunia kerja. Kalau masuk ke dunia birokrasi akan menjadikan birokrasi sebagai ladang bisnis (korupsi) agar BEP tercapai. Jika masuk ke dunia swasta pun akan memainkan peran sebagai pengusaha yang tidak peduli moralitas bisnis, berkolaborasi negatif dengan birokrat, tidak punya kepedulian sosial. Bahkan, jika mereka gagal di dunia swasta akan masuk dalam perangkap dunia ilegal, fatalistic (bunuh diri, malapraktik), antisosial, agresif-negatif, dan ekstremis.
Terjebak tradisi
Pengembangan karakter anak-anak didik juga acap kali terjebak pada pekerjaan rumah yang dihadapi sekolah. Seperti sekolah-sekolah yang tidak diunggulkan dibiarkan pemerintah tanpa ada upaya meningkatkan kualitasnya. Tidak ada "dewa penolong" terhadap sekolah yang berprestasi biasa-biasa untuk dapat mengangkat grade-nya.
Guru dan kepala sekolah dibiarkan dengan pola pikir dan gaya mendidiknya yang "tradisional", tidak berusaha melakukan modifikasi terhadap berbagai perubahan lingkungan yang terjadi. Bahkan, anak-anak didik sering merasakan "jenuh" dengan materi dan gaya guru yang mengajar. Sedangkan fasilitas publik di sekolah juga serbaterbatas, kegiatan ekstra kurikuler juga tidak bisa datang setiap saat ketika jenuh.
Kejenuhan anak didik tidak diantisipasi oleh guru sekolah dan berketerusan --karena pola pikir dan pengetahuan terbatas, tidak punya visi pendidikan revolusioner, gaya komunikasi apa adanya-- sehingga anak-anak bebas melakukan berbagai gaya menyelesaikan kejenuhan. Ada yang bergerombol di jalan membuat simpul-simpul massa sehingga terjebak dalam konflik (tawuran), ada yang main ke mal, ada yang memainkan gadget.
Penyimpangan anak-anak didik seakan-akan dibiarkan menjadi kanal atas kejenuhan dan gaya guru dan sekolah yang tradisional (tidak melakukan modifikasi). Guru tidak berusaha melebur dengan murid sehingga berbagai kemungkinan potensi buruk dapat diantisipasi. Guru juga dapat mengembangkan anak-anak didik jika ada potensi prestatif lain.
Kurikulum 2013 dianggap dapat menjadi solusi berbagai keluhan anak didik terhadap situasi pendidikan yang terjadi sekarang. Masalahnya, apakah implementasinya bisa seperti yang diharapkan jika kualitas dan kompetensi kepemimpinan sekolah, guru, dan infrastruktur pendidikan tidak menunjang.
Oleh Erlangga Masdiana
Kriminolog UI