REPUBLIKA.CO.ID,
Perpecahan partai tengah melanda dua partai lawas, Golkar dan PPP, yang menyebabkan hadirnya kepengurusan kembar. Jika dilihat dari kacamata sejarah, fenomena perpecahan itu bukan hal baru, bahkan sebetulnya telah melanda banyak partai sejak awal reformasi.
Sepintas, akar persoalan perpecahan yang dialami oleh partai-partai itu berbeda. Namun dalam beberapa hal, penyebab perpecahan menjadi klasik karena melibatkan faktor yang hampir sama.
Persoalan pertama yang kerap menjadi pemicu di balik munculnya faksionalisasi adalah penafsiran akan aturan main yang tidak seragam. Dalam sebuah momen krusial, masing-masing pihak merasa mereka yang paling konsisten dan teguh atas konstitusi atau aturan main.
Perbedaan penafsiran itu muncul sebagai respons atau reaksi dari manuver politik yang dianggap tidak biasa atau kontroversial. Hal ini, misalnya, dipicu oleh upaya seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan pendekatan politik kepada pihak tertentu, seperti saat Suryadharma Ali menggadang-gadang Prabowo Subianto di PPP atau saat dulu Matori Abdul Jalil mendukung pelaksanaan Sidang Istimewa MPR dalam pemakzulan Gus Dur di PKB.
Pemicu lainnya adalah kebijakan memajukan atau memundurkan pelaksanaan pergelaran politik penting, seperti saat Hamzah Haz yang memundurkan Muktamar PPP yang memicu protes kelompok Zainuddin MZ—belakangan membentuk PBR—atau seperti yang terjadi di Golkar saat ini, di mana persoalan pelaksanaan waktu munas menjadi salah satu inti persoalan. Kemudian, merambat pada kecurigaan atas motif manuver tersebut.
Di sisi lain, perbedaan penafsiran aturan main itu merembet pada soal-soal sensitif yang mengusik legitimasi kepemimpinan partai. Pertanyaan seperti sebesar apa kewenangan seorang ketua umum itu dapat digunakan, apakah forum keputusan itu tepat atau tidak, adalah pertanyaan yang kerap digunakan untuk melabeli sebuah kelompok sebagai otoriter, oportunis, pragmatis, atau inkonstitusional yang akhirnya memanaskan situasi.
Perbedaan penafsiran ini mengindikasikan setidaknya dua hal, yakni aturan main (atau tafsirannya) itu sendiri yang masih menyisakan celah perdebatan dan atau tak adanya kesepahaman yang disosialisasikan secara kontinu dan konsisten sehingga setiap kader memiliki pemahaman yang sama atas aturan main.
Kesemua perdebatan ini sayangnya kerap tidak disalurkan pada media penyelesaian konflik yang tepat. Sudah menjadi rahasia umum manajemen konflik di kebanyakan partai tidak terlembaga dengan baik. Akibatnya, banyak keputusan terkait penyelesaian konflik yang tidak disadari oleh tahapan penyelesaian konflik tertulis yang detail, terstandardisasi, dan dengan institusi pelaksana yang sah dan berwibawa.
Pada masa lalu, badan peradilan internal jarang secara detail disebutkan perannya di AD/ART. Saat ini, meski situasi lebih baik, kenyataannya walau telah disebutkan di AD/ART, kerap badan-badan peradilan internal—apakah itu badan arbitrase, dewan syariah, atau mahkamah internal—sekadar ada dan dalam parktiknya sarat kepentingan yang menyebabkan legitimasi dan tingkat kepercayaan kader atas badan-badan ini rendah.
Cerita yang umum terjadi, penyelesaian konflik akhirnya bersifat subjektif dengan semangat like-dislike. Situasi ini menyebabkan keputusan yang ditetapkan dinilai parsial, tidak otoritatif, dan membangkitkan ketidakpuasan. Muncul kemudian tuduhan keputusan itu tidak didudukkan pada iktikad baik dan upaya penyelesaian yang taat prosedur. Dan atas dasar inilah, sebuah faksi atau kelompok merasa berhak mempertahankan eksistensinya hingga kepentingannya terwujud.
Hal lain yang menarik adalah mengapa manakala konflik dirasa semakin tak terjembatani, sebuah faksi dapat membentuk kepengurusan sedemikian cepat. Setiap pihak yang bertikai, baik di PPP maupun Golkar (dulu juga PKB), mengklaim memiliki kepengurusan yang lengkap dan sah hingga di daerah.
Penyebab mendasar adalah karena adanya “soliditas semu” di partai-partai tersebut, yang memungkinkan kader atau simpatisan mudah sekali direkrut mendukung kelompok tertentu dengan iming-iming pragmatis sebagai kompensasinya.
Kerap pula terjadi manipulasi untuk mengokohkan eksistensi kelompok. Untuk alasan ini, masing-masing kelompok yang bertikai kerap menggunakan “kewenangannya” untuk merekrut dan mendudukkan seseorang pada jabatan tertentu. Akibatnya, banyak orang tak dikenal yang tiba-tiba menduduki sebuah jabatan di pengurus daerah. Di sini, jelas aturan main lagi yang dikorbankan.
Perilaku di atas mengindikasikan elite maupun kader partai kurang merasa terpanggil untuk mendahulukan upaya menyatukan barisan dengan bersikap kritis atas ajakan kelompok tertentu membentuk faksi. Orientasi politik dan loyalitas lebih ditujukan kepada figur atau kelompok dan bukan pada partai. Sikap ini muncul sebagai hasil dari hilangnya nilai-nilai pemersatu yang ditaati kader. Penyebab utamanya jelas, yakni tidak bekerjanya internalisasi ideologi seiring dengan, sekali lagi, mati surinya kaderisasi.
Dengan situasi seperti ini—redupnya kaderisasi yang berujung hilangnya soliditas dan munculnya multitafsir atas aturan main dan juga strategi, serta pelembagaan manajemen konflik yang lemah—menyebabkan ambisi individu, terutama mereka yang masuk kategori elite dalam partai dapat meluas secara tidak terkontrol, menguat, dan akhirnya mendorong pertikaian tidak sehat yang berujung pada faksionalisasi.
Dalam beberapa kasus, perpecahan partai juga semakin kompleks dengan adanya intervensi pihak luar, baik langsung maupun tidak langsung. Pihak luar bisa lembaga nonpemerintah, seperti serikat buruh, pemilik modal, atau kelompok agama berpengaruh. Namun, dapat pula dari pihak pemerintah, termasuk lembaga peradilannya.
Dalam banyak kasus di Indonesia, perpecahan parpol diperburuk lebih oleh sikap pemerintah. Pada masa Orde Baru, pertarungan faksi di partai diperumit kepentingan rezim untuk menanam atau memperkuat orang-orang yang dianggap pendukung rezim. Di era Reformasi, kisruh PKB sedikit banyak diperuncing atau diperlama dengan keputusan pengadilan yang kabur, yang memungkinkan masing-masing pihak menafsirkan sebagai pembenaran atas keberadaannya.
Dalam kasus PPP dan Golkar, konflik internal turut “dimeriahkan” dengan sikap intervensionis pemerintah. Sikap pemerintah itu menyebabkan ada pihak yang merasa mendapat angin dan sah untuk eksis. Meski sebenarnya peluang pencarian penyelesaian atau islah belum tertutup, sikap pemerintah yang memberi angin ini kerap meninggikan kecurigaan dan mengentalkan pengubuan. Apalagi, tak tertutup kemungkinan adanya kepentingan pemerintah memenangkan kelompok yang ramah rezim.
Namun, akar persoalan jelas bukan ada pada pihak eksternal. Berbagai intervensi itu hanya memainkan peran sekunder. Dan, jelas hal itu tidak akan muncul jika partai-partai yang bertikai sejak dini meredam dan menyelesaikan konflik secara mandiri dengan elegan. n
Firman Noor
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI