Apa yang Anda pikirkan saat ada orang meminta Anda menutup mata dan membayangkan sebuah kata berdasarkan kata-kata petunjuk berikut: Seorang anak memakai caping. Duduk di atas kerbau. Memegang seruling. Terhampar pemandangan sawah nan hijau. Ada pegunungan di belakang gambar sang anak yang tengah duduk di atas kerbau itu.
Berdasarkan riset kecil-kecilan, kebanyakan orang akan menjawab penggembala sebagai jawaban sebuah kata yang terasosiasi dengan kalimat-kalimat petunjuk tersebut. Sebagian lagi akan menyebut kata desa atau kampung halaman. Lainnya menyebut kata pertanian. Sebagian lagi menyebut kata Indonesia. Entah, Anda termasuk yang mana.
Hal yang jelas, saat disebut kata kerbau, tidak ada satu pun yang mengaitkan dengan suatu hal yang berada di luar Indonesia. Apa artinya? Publik tidak pernah berpikiran kerbau berasal dari luar negeri. Kerbau itu identik dengan Indonesia. Setidaknya, bagi mayoritas warga nusantara. Tentu, kesimpulan atau persepsi ini bukan berangkat dari ruang yang kosong. Penduduk Indonesia tidak pernah punya pikiran akan kesulitan mendapatkan kerbau di negara berpenduduk 250 juta jiwa ini.
Karena itu, menjadi "terasa aneh" manakala pemerintah menggaungkan rencana impor daging kerbau sejak beberapa bulan terakhir. Bahkan, kabar terakhir, daging kerbau yang diimpor dari India itu akan masuk pada akhir bulan ini dan langsung dilempar ke pasar. Kalau kerbau saja sudah harus impor, lalu jenis pangan apa lagi yang bisa kita pasok untuk kebutuhan negeri sendiri?
Terlepas dari kegundahan tersebut, rencana impor daging kerbau tidak bisa dijauhkan dari fakta "ulah daging sapi" yang selalu membuat kisruh ekonomi nasional. Saat momen-momen tertentu, semisal Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, harga daging sapi selalu melejit tak terkendali. Penyebabnya tak lain karena permintaan meningkat, sementara persediaan kurang. Nah, kedatangan daging kerbau memang sengaja untuk menyasar konsumen daging sapi. Harapannya, perlahan masyarakat akan menyukai daging kerbau dan mengalihkan "ketergantungan" terhadap daging sapi. Alasan pemerintah, pada dasarnya masyarakat Indonesia itu penikmat daging kerbau, tapi sejak daging sapi beku masuk, masyarakat mulai meninggalkan daging kerbau.
Apa pun target pemerintah, hendaknya rencana importasi ini perlu mewaspadai beberapa hal. Pertama, pemerintah perlu hati-hati memasukkan hewan atau produk hewan ruminansia dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK). Risiko sangat besar mengancam apabila Indonesia yang saat ini merupakan negara bebas PMK tanpa vaksinasi kedatangan penyakit hewan yang sangat berbahaya tersebut. Bukan hanya mengancam ternak sapi dan kerbau lokal, melainkan juga terhadap ternak berkuku genap lainnya, seperti kambing dan domba.
Kedua, harga daging kerbau yang sangat murah akan mendistorsi usaha peternakan sapi lokal di Tanah Air. Masuknya daging kerbau yang sangat murah dibandingkan harga daging sapi yang sudah terbentuk saat ini akan menurunkan minat dan semangat peternak rakyat untuk memelihara sapi dan dalam jangka panjang. Dengan begitu, otomatis akan menempatkan Indonesia pada posisi sebagai net importer untuk daging sapi. Hasil Sensus Pertanian pada 2013 yang dilakukan Badan Pusat Statistik menunjukkan, saat ini terdapat sekitar 5,5 juta rumah tangga peternak sapi. Ekonomi rumah tangga inilah yang akan terancam dengan masuknya impor daging kerbau.
Selain itu, kebijakan yang sangat pragmatis dari pemerintah akan semakin menjauhkan keinginan Presiden Joko Widodo agar pada 2026 Indonesia dapat swasembada daging sapi. Berbagai faktor ini harus dipikirkan masak-masak sebelum pemerintah salah langkah dan akhirnya disibukkan dengan mencari solusi atas masalah yang dibuat pemerintah sendiri.