Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh rasio gini tercatat sebesar 0,397 poin pada Maret 2016. Angka ini menurun jika dibandingkan rasio gini pada Maret 2015 sebesar 0,408 persen dan September 2015 senilai 0,402.
Di atas kertas, angka tersebut memang memperlihatkan terjadinya pemerataan pendapatan. Ini mengingat, dalam skala rasio gini, nilai nol menunjukkan tak ada kesenjangan sama sekali, sedangkan angka satu menunjukkan ketimpangan mutlak.
Di perkotaan, rasio gini tercatat sebesar 0,410 atau turun 0,018 poin dibanding rasio gini perkotaan pada Maret 2015 yang sebesar 0,428. Sedangkan, di daerah perdesaan, rasio gini turun 0,007 poin menjadi 0,327 dibanding angka pada Maret 2015 yang sebesar 0,334 poin.
Akan tetapi, pekerjaan rumah pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan masih perlu perjuangan. Ini mengingat jumlah penduduk miskin dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan di Tanah Air mencapai 10,86 persen atau 28,01 juta jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai angka 250 juta. Jelas, ini bukan merupakan angka yang sedikit. Angka ini masih lebih tinggi dari jumlah penduduk Belanda yang sekitar 16,9 juta jiwa.
Jika kita lihat lebih detail, perdesaan masih harus menjadi pusat perhatian terkait masalah kemiskinan lantaran jumlah penduduk miskin lebih banyak tinggal di perdesaan. Pada Maret 2015, persentase penduduk miskin perdesaan 14,21 persen. Angka ini memang turun pada September 2015 menjadi 14,09 persen, tetapi naik 0,02 persen pada Maret 2016 menjadi 14,11 persen.
Dari sisi jumlah, BPS mencatat jumlah orang miskin di perdesaan mencapai 17,94 juta jiwa. Angka ini hampir dua kali lipat dari jumlah orang miskin di perkotaan yang mencapai 10,65 juta jiwa pada Maret 2015.
Hal ini memang disadari oleh Pemerintah Presiden Joko Widodo. Ini juga yang membuat presiden ketujuh itu mengatakan ingin mengimplementasikan sembilan program nawacita yang antara lain mencoba membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam negara kesatuan.
Itu juga alasannya dalam pidato kenegaraannya belum lama ini, Jokowi menegaskan secara khusus bahwa pemerintah terus mendorong pembangunan infrastruktur, terutama pembangunan di wilayah marginal.
Sebagai negara kepulauan dengan jumlah desa yang mencapai 74 ribu, maka kesejahteraan masyarakat perdesaan menjadi sektor yang harus betul-betul diperhatikan. Alasan paling sederhana adalah mencegah terjadinya urbanisasi besar-besaran.
Bayangkan, jika kemiskinan di perdesaan semakin meningkat, wilayah tersebut akan ditinggalkan masyarakat. Mereka berbondong-bondong akan menuju perkotaan dengan harapan akan mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Dampaknya, perkotaan akan semakin padat dan potensi konflik meningkat.
Ekses lainnya, tak ada lagi orang yang bekerja di sektor agraris. Padahal, pangan disebut bakal menjadi isu strategis dunia pada masa mendatang mengingat semakin sempitnya lahan pertanian. Dengan kata lain, tak perlu menghilangkan karakteristik kita sebagai negara agraris. Karena ke depan, siapa yang menguasai pangan akan memiliki kekuatan di dunia.
Presiden Jokowi sudah menyampaikan janji untuk lebih peduli terhadap masyarakat perdesaan. Penting bagi kita untuk terus mengawal janji ini, untuk terus meningkatkan kesejahteraan saudara-saudara kita yang ada di perdesaan dan kawasan marginal.
Pembangunan infrastruktur memang menjadi kunci karena saat ini banyak desa yang terisolasi. Tak hanya tidak memiliki akses transportasi yang memadai, tapi juga mereka belum merasakan listrik sebagai fasilitas yang bisa digunakan selama 24 jam.
Padahal, jika saja dua elemen dasar ini bisa dipenuhi secara merata oleh seluruh rakyat nusantara, bisa dipastikan bahwa masyarakat perdesaan akan menciptakan potensi-potensi lain yang selama ini tidak terpikirkan. Bahwa potensi-potensi itu akan menjadi elemen penting untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.