Kamis 03 Nov 2016 18:00 WIB

Demi Pangan di Perbatasan

Red:

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman tiba tepat waktu di area persawahan di Dusun Gunung Senyang, Desa Semanget, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Sabtu (22/10) pagi. Amran datang untuk menggali dan meningkatkan potensi pertanian di wilayah perbatasan tersebut.

Amran sempat menyapa warga Entikong yang telah menunggunya untuk menanam padi hazton dalam salah satu rangkaian kunjungan kerjanya. Begitu tiba di area persawahan, ia langsung melepas sepatu dan kaus kaki serta menggulung lengan panjang kemeja putihnya.

Tanpa malu-malu, pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, tersebut turun ke area tanah berlumpur dan menggenggam benih padi untuk ditanam.

Tak hanya Amran, jajaran pejabat dari anggota Komisi IV DPR Daniel Johan, Gubernur Kalimantan Barat Cornelis MH, Kasdam XII Tanjungpura Brigjen TNI Achmad Supriyadi, dan pejabat setempat lainnya ikut turun menanam benih padi. Mereka pun berlomba untuk menjadi yang paling cepat dalam menanam benih padi.

Amran dengan gesit menyelesaikan penanaman padi dan menjadi yang tercepat di antara pejabat lain. Cipratan lumpur yang mengotori kemeja putihnya diabaikannya. "Saya sudah biasa nanem sambil berlumpur begini," kata Amran berseloroh sambil tertawa kepada para wartawan seusai menanam benih padi.

Amran memaparkan, Kalimantan memiliki potensi luar biasa dalam bidang pertanian. Salah satunya di daerah Entikong, yang berbatasan langsung dengan Malaysia melalui jalur darat. Ia menegaskan, pemerintah berkomitmen membangun potensi pertanian di perbatasan karena sesuai dengan sembilan tujuan atau Nawacita Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Karena itulah, pemerintah terus bekerja keras membangun lumbung pangan di daerah perbatasan.

Pembangunan lumbung pangan di perbatasan bukan hanya bertujuan memenuhi produksi dalam negeri, melainkan juga bertujuan untuk mengekspor ke negara tetangga. Menurut Amran, daerah perbatasan memiliki potensi besar membanjiri negara-negara tetangga dengan pangan-pangan lokal.

Contohnya adalah daerah-daerah perbatasan, seperti Entikong (Kalbar) atau Kalimantan Timur, yang berbatasan langsung dengan Malaysia, Timor Timur dengan Timor Leste, Merauke dengan Papua Nugini, Maluku Utara dengan Filipina, serta Kepulauan Riau dengan Singapura dan Malaysia.

"Kalbar, khususnya daerah Entikong, mau ekspor beras itu dekat. Lempar saja sudah ekspor. Berbeda dengan negara lainnya untuk ekspor ke Malaysia butuh waktu," ujarnya.

Amran mengapresiasi pencapaian Kalbar dalam bidang pertanian karena sudah surplus beras sebesar 300 ribu ton. Dengan surplus itu, Kalbar sudah layak melakukan ekspor ke negeri jiran, seperti Malaysia.

Kata Amran, Kalbar sebenarnya sudah melakukan ekspor beras secara tradisional ke Malaysia sebanyak 100 ribu ton tahun ini. Hanya saja, ekspor tersebut belum dilakukan pencatatan secara resmi. Ia menuturkan, peluang ekspor ke Malaysia terbuka lebar.

Dengan kebutuhan beras 2,5 juta ton per tahun, Malaysia memenuhinya dengan beras impor dari Pakistan, Thailand, Vietnam, dan Laos sekitar satu juta ton. Amran yakin, Indonesia bisa menyuplai beras ke Malaysia dan memenangkan persaingan dengan negara lain karena karena dekatnya jarak pengiriman.

Amran mendapatkan informasi bahwa di Sanggau ada dua jenis beras yang diminati Malaysia. Kedua jenis beras itu adalah beras merah Pelawang dan Raja Uncak. Dua jenis beras ini harganya premium, Rp 40.000-Rp 80.000 per kilogram.

Hal yang perlu dilakukan saat ini adalah bagaimana mengembangkan dua jenis beras tersebut dengan teknis hazton agar produksinya meningkat. Amran bangga dengan keberhasilan Pemerintah Provinsi Kalbar yang menemukan metode penanaman beras dengan sistem hazton.

Apalagi, sistem tersebut sudah diaplikasikan di level nasional. Sistem ini dilakukan dengan menanam 20-25 benih induk beras yang tidak beranak-pinak dalam tumbuhnya. Jika satu benih terserang hama, masih ada 19 benih indukan.

Sistem hazton sudah diujicobakan di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Menurutnya, hasil sistem hazton mampu menggenjot produksi dari yang biasanya hanya 2,3 ton menjadi 14 ton.

Produksi beras di Kalbar bisa ditingkatkan dengan menjadikan sawah-sawah yang sebelumnya memiliki indeks pertanaman (IP) 1 menjadi IP2. Dengan begitu, sawah bisa dilakukan dua kali penanaman dalam setahun.

Apalagi, beberapa daerah di KaIimantan, seperti Kalbar, memiliki sumber daya air yang melimpah yang harus dimanfaatkan dengan maksimal. Dengan begitu, para petani tidak perlu menunggu musim hujan untuk melakukan penanaman.

"Saya dorong juga dalam pengelolaannya dengan pertanian organik sebab harganya akan lebih mahal 10 kali lipat. Daerah perbatasan harus kita kembangkan karena negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, menjadi pasar kita," ujartnya menjelaskan.

Direktur Serealia Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Nandang Sunandar, memaparkan, saat ini Kalbar memiliki 440 ribu hektare sawah dan sangat berpotensi menjadi sentra beras nasional.

Pada 2016, Kalbar menempati peringkat tujuh dalam peningkatan produksi padi nasional. Produksi Kalbar telah meningkat menjadi 1,469 juta ton dari tahun lalu sebesar 1,275 juta ton. Tidak heran, produksi beras di Kalbar berpeluang untuk terus ditingkatkan agar juga mampu mengekspor ke negara tetangga.

Selain beras, Kalbar juga mengalami peningkatan produksi jagung sebesar enam persen dari 103 ribu ton pada 2015 menjadi 109 ribu ton pada tahun ini.

Peningkatan produksi jagung di Kalbar dibantu pemerintah dengan meningkatkan lahan jagung dari 16 ribu hektare tahun ini menjadi 40 ribu hektare pada 2017.

"Kalau 2015, Kalbar ambil jagung dari Kalsel dan Jawa Barat, sekarang tidak perlu lagi ambil dari provinsi lain. Harus tanam dan harus bisa memasok sendiri ke seluruh Kalbar dan bisa memenuhi kebutuhan di provinsi lain," katanya menjelaskan.

Ketua Kelompok Tani Gunung Senyang di Entikong, Antonius Saidin, mengatakan, luas area sawah di daerahnya sekitar 30-40 hektare. Kelompok tani Gunung Senyang membutuhkan pencetakan sawah kembali karena potensi lahan yang sangat luas, tapi terbentur dengan status lahan, yaitu hutan lindung atau hutan produksi.

"Banyak kendala juga, terutama iklim, kita tidak bisa atur kan. Kadang terhalang. Harusnya musim tanam, tapi kadang kemarau. Masalah bibit juga kadang agak berkurang," ujarnya mengeluh. Oleh Bilal Ramadhan   ed: Satria Kartika Yudha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement