Senin 14 Nov 2016 17:00 WIB

Industri Akuakultur untuk Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan

Red:

Di tengah lesunya sektor-sektor ekonomi di daratan, seperti tek stil, elektronik, properti, sawit, batu bara, dan mineral, akibat perlambatan ekonomi global, sek tor-sektor ekonomi kelautan seharusnya da pat menjadi "penyelamat" dari beragam masa lah bangsa. Perlambatan ekonomi global mem buat Indonesia dihadapkan pada segudang ma salah, seperti menurunnya pendapatan ne gara, penu runan kinerja ekspor, meningkatnya ke mis kin an, serta masih tingginya angka peng ang guran.

Potensi total nilai ekonomi pada 11 sektor kelautan Indonesia diperkirakan sebesar 1,3 triliun dolar AS per tahun atau sekitar 1,4 kali PDB dan tujuh kali APBN 2016. Adapun tenaga kerja yang bisa disediakan sekitar 45 juta orang atau sepertiga dari total angkatan kerja nasio nal. Sebelas sektor itu adalah perikanan tang kap, perikanan budi daya, industri peng olahan ha sil perikanan, dan seafood, industri biotek no logi kelautan serta energi dan sumber daya mi neral. Kemudian sektor pariwisata bahari, per hubungan laut, sumber daya wilayah pulau-pu lau kecil, kehutanan pesisir (coastal fores try), industri dan jasa maritim, serta sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan nonkon vensional.

Salah satu sektor ekonomi kelautan Indo nesia yang sangat potensial untuk menjadi "pe nyelamat" adalah sektor perikanan budi daya (aquaculture atau akuakultur). Pasalnya, seba gai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai 95.181 km (terpan jang kedua di dunia setelah Kanada), Indonesia memiliki sekitar 24 juta hektare wilayah perairan laut dangkal yang sesuai untuk usaha budi daya laut, dengan potensi produksi lestari sekitar 60 juta ton per tahun (terbesar di dunia) dan nilai ekonomi langsung (on-farm) sekitar 120 miliar dolar AS per tahun.

Kemudian, ada sekitar tiga juta hektare lahan pesisir cocok untuk usaha budi daya tam bak dengan potensi produksi 30 juta ton/tahun dan nilai ekonomi on-farm 60 miliar dolar AS per tahun. Sekitar 30 persen atau 60 juta hek tare dari total luas lahan daratan Indo nesia (190 juta hektare) berupa ekosistem perairan tawar, seperti sungai, danau, bendung an, dan rawa.

Dari 60 juta hektare perairan tawar itu, sekitar lima persen (3 juta hektare) cocok untuk usaha akuakultur, dengan potensi produksi 15 juta ton per tahun dan nilai ekonomi on-farm 22,5 miliar dolar AS per tahun. Belum lagi po tensi usaha akuakultur di kolam air tawar, sa wah (mina-padi), saluran irigasi (dengan ke ramba tancap), dan akuarium.

Dengan demikian, potensi total produksi akuakultur lebih dari 105 juta ton per tahun dan potensi total ekonomi on-farm usaha akuakul tur di perairan laut, payau (tambak), dan tawar (darat) lebih dari 202,5 miliar dolar AS per tahun. Angka ini hampir sama dengan APBN 2016.

Kalau setiap hektare usaha akuakultur me merlukan satu orang tenaga kerja saja, total lapangan kerja on-farm yang bisa disediakan sekitar 30 juta orang. Belum lagi nilai ekonomi dan tenaga kerja yang bisa diserap oleh beragam kegiatan industri hulu dan industri hilir dari bisnis akuakultur tersebut.

Hingga saat ini, total produksi budi daya laut baru sebesar 9,4 juta ton (16 persen total potensi produksi), budi daya tambak 2,4 juta ton (8 persen), dan budi daya perairan tawar 2,8 juta ton (19 persen). Artinya, dari sisi suplai, peluang bisnis akuakultur masih sangat terbuka lebar dan luar biasa besar.

Sejak 2009, Indonesia menjadi negara pro dusen akuakultur terbesar kedua di dunia sete lah Cina (FAO, 2016). Patut dicatat, akua kultur tidak hanya menghasilkan protein hewani berupa ikan, moluska (kekerangan); dan krus tasea (udang, lobster, kepiting, dan rajungan).

Tetapi, juga rumput laut, teripang, invertebrata, dan ribuan jenis organisme perairan lainnya sebagai bahan baku (raw materials) untuk in dustri makanan dan minuman, farmasi, kosme tik, cat, film, bioenergi, dan ratusan jenis indus tri lainnya. Selain itu, marikultur juga bisa meng hasilkan perhiasan yang sangat mahal seperti kerang mutiara. Dan, dapat berfungsi se bagai penyerap karbon, sehingga turut men cegah terjadinya pemanasan global (global warming).

Seiring dengan jumlah penduduk dunia yang terus bertambah dan meningkatnya kesa daran umat manusia tentang gizi ikan dan seafood yang lebih sehat dan mencerdaskan, per min taan terhadap sejumlah komoditas dan pro duk akuakultur juga diyakini bakal terus mem besar. Selain itu, dari sisi penggunaan pakan, sistem produksi ikan budi daya enam kali lebih efisien ketimbang sistem produksi daging sapi. Karena itu, sangat logis bila dalam dua de kade terakhir, akuakultur merupakan sektor pa ngan dengan laju pertumbuhan tertinggi dan tercepat di dunia (FAO, 2016). Teknologi pro duksi perikanan budi daya itu relatif mudah dan kebanyakan masyarakat Indonesia sudah ter biasa dengan usaha akuakultur. Investasi dan modal kerja yang dibutuhkan juga relatif kecil.

Jika dikerjakan secara profesional dan penuh ketekunan mengikuti best aquaculture practices cara budi daya yang terbaik, usaha akuakultur dapat menghasilkan keuntungan yang besar, dan menyejahterakan rakyat secara berkelanjutan. Lebih dari itu, pembangunan dan bisnis akuakultur akan secara signifikan membantu bangsa ini bukan hanya untuk berswasembada pangan, farmasi, kosmetik, dan bioenergi, melainkan juga menjadi pengekspor utama keempat jenis produk yang dibutuhkan umat manusia sejagat raya.

Mengingat usaha akuakultur hampir se mua nya berlokasi di wilayah-wilayah pesisir, pu lau-pulau kecil, pedesaan, dan wilayah perba tasan, pembangunan dan bisnis akuakultur akan membangkitkan pusat-pusat pertumbuh an ekonomi dan kemakmuran baru di luar Jawa yang menyebar di seluruh wilayah NKRI. De ngan demikian, masalah kronis bangsa lainnya berupa disparitas pembangunan antarwilayah yang sangat timpang. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5 persen total luas wilayah Indonesia menyumbangkan 60 persen terhadap pereko no mian nasional (PDB), juga bakal lebih seim bang, produktif, dan berdaya saing.

Dengan fakta dan kondisi tersebut, sektor akuakultur bagi Indonesia bak 'Raksasa Eko nomi Yang Tertidur (The Sleeping Economy Giant)'. Sangat disayangkan, hampir dua tahun pe merintahan Kabinet Kerja, kebijakan dan prog ram Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) fokusnya (lebih dari 60 persen) pada per ikanan tangkap, terutama penenggelaman kapal. Kesejahteraan nelayan justru terkorbankan dan akuakultur dipandang sebelah mata. Padahal, nilai ekonomi langsung (ikan hasil tangkapan dari laut) hanya sekitar 14 miliar dolar AS, atau enam persen dari potensi total nilai ekonomi langsung akuakultur.

ROKHMIN DAHURI

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB, ed: Satria Kartika Yudha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement