Rabu 10 Aug 2016 14:00 WIB

Mengembalikan Tingkat Toleransi

Red:

Indeks Demokrasi Indonesia yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa indikator toleransi di Indonesia menurun. Meski penurunan ini tetap berada dalam indikator sedang, meminjam prinsip demokrasi, seharusnya tingkat toleransi masyarakat dari tahun ke tahun meningkat. Namun, data membuktikan bahwa toleransi masyarakat malah menurun.

Salah satu peneliti BPS, Maswadi Rauf, mengatakan bahwa dari penelitian yang diambil melalui FGD dan koding koran menunjukkan bahwa banyak perda intoleran yang muncul di beberapa wilayah. Meski dalam penelitian ini tak melibatkan Aceh dan Papua karena dua wilayah tersebut masuk dalam otonomi khusus, di beberapa wilayah ternyata masih ada perda perda yang intoleran.

Perda-perda intoleran tersebut antara lain berada di Sumatra Barat, Tanjung Pinang, Bogor, dan Bengkulu. Perda-perda intoleran antara lain di Bogor dan Sumatra Barat yang dikeluarkan untuk kelompok minoritas melakukan perkumpulan dan kebebasan berkeyakinan.

 

"Perda bermasalah itu banyak. Bogor juga termasuk kota yang intoleran karena ada beberapa perda yang menyinggung soal kebebasan berserikat dan berkumpul," ujar Maswadi, Senin (8/8).

 

Peneliti BPS lainnya, Musdah Mulia, mengatakan, salah satu tanda bahwa daerah tersebut intoleran tak hanya dari produk perda, tapi juga prilaku pemerintahnya. Selain itu, juga dari warganya. Ia mengatakan, pada 2015 kemarin banyak juga perilaku warga yang sangat intoleran. Banyak kasus yang terjadi karena masyarakat yang belum matang secara pemahaman toleransi. Perbedaan pendapat kerap menjadi pemicu perselisihan antarwarga.

Musdah juga menekankan bahwa menurunnya indeks toleransi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh perilaku masyarakat yang tidak toleran. Ia mengatakan, penurunan bahkan cukup signifikan dengan skor poin enam hingga 10 poin. Ia mengatakan, hal ini disumbang dari banyaknya kasus intoleran yang terjadi antarmasyarakat.

"Jadi, tak hanya perda, tapi juga perilaku masyarakat. Umpamanya sekolompok orang melarang kelompok lain berkumpul. Itu intoleransi. Itu yang menurun drastis. Itu yang turunnya drastis. Kebebasan berkeyakinan dan berkumpul," ujar Musdah.

Direktur Jenderal Bina Masyarakat Islam Kementerian Agama Machasin mengatakan, penurunan toleransi tersebut bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Ia menyebut perpindahan demografi sebagai salah satu penyebabnya.

Menurutnya, hal ini terjadi di suatu wilayah yang semula penduduknya homogen kemudian akibat adanya perpindahan, membuat penduduk wilayah tersebut menjadi heterogen.

"Jadi, kalau dulu disana satu suku atau satu agama, lalu perubahan demografi membuat orang di wilayah itu menjadi berubah," ujar Machasin saat dihubungi, Senin (8/8).

Menurutnya, perpindahan juga disebabkan oleh sejumlah hal, di antaranya bertambahnya lapangan pekerjaan suatu wilayah, yang memungkinkan orang datang ke wilayah tersebut. Selanjutnya, mengubah cara pembauran di wilayah tersebut.

"Kalau kita lihat realitas sekarang ini, perubahan terjadi hampir di semua daerah itu, tadinya satu suku, lalu perubahan membuat mereka kemudian bergaul dengan suku lain," katanya.

Hal ini pula, kata Machasin, yang membuat aturan yang semula berlaku di tempat tersebut kemudian dinilai tidak lagi pas diterapkan di wilayah tersebut. Sehingga, kemudian bibit nilai intoleransi muncul pada saat itu.

"Jadi, aturan yang dulu dibuat dengan satu kebiasaan tidak berlaku lagi di sana," kata dia.

Selain itu, faktor lainnya juga disebabkan dari pola kebijakan pimpinan daerah di wilayah tersebut. Menurutnya, pola kepemimpinan yang tidak adil bisa memunculkan sikap intoleran.

"Iya berpengaruh, kalau kepala daerah memperhatikan kebersamaan, lalu dia bisa membuat perangkat-perangkat aturan yang sesuai dengan itu. Kalau sebaliknya, ya sebaliknya juga," kata dia.

Lantaran itu, menurutnya, perlu peran semua pihak untuk mencegah sikap intoleransi tersebut berkembang. Pasalnya, untuk menumbuhkan sikap toleransi ini tidaklah mudah.

"Artinya, bukan sekali jadi, harus dirawat terus, dipertahankan terus, bukan hanya Kemenag, melainkan juga pimpinan daerah, tokoh politik, tokoh pendidikan, dan kerja sama semua pihak saya kira," katanya.

Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri mengatakan, pihaknya terus berupaya meningkatkan peran perangkat pemerintahan daerah untuk menumbuhkan nilai toleransi di daerah. Salah satunya melalui lembaga kesbangpol yang merata di seluruh daerah.

"Sebenernya ya kesbangpol itu. Melalui kesbangpol itu, koordinasi dengan Forkompinda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah)," ujar Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Dody Riyadmadji saat dihubungi, Senin (8/8).

Selama ini, kata dia, Kemendagri juga meminta laporan dari daerah terkait perkembangan yang terjadi di daerah. Hal ini sekaligus menampik bahwa munculnya intoleransi dikatakan lantaran tidak adanya peran pusat, dalam hal ini Kemendagri di tingkat daerah.

"Laporan itu dilakukan melalui penjemputan ke daerah. Lalu, jika ada potensi intoleransi muncul, kita koordinasi dengan Forkompinda di daerah," katanya.

Sedangkan, Wakil ketua Komisi VIII Sodiq Mujahid khawatir, hasil survei BPS akibat kurang siapnya Indonesia menjalani dan menghadapi proses reformasi yang memberikan demokrasi. Salah satunya adalah proses pilkada serentak yang menghasilkan kepala daerah dan DPRD yang kurang bermutu dan kurang memahami tupoksinya.

''Sehingga, menghasilkan regulasi-regulasi dan kebijakan yang mengurangi semangat toleransi,'' kata Sodiq.

Regulasi dan kebijakan yang kurang toleransi ini, lanjut politikus Partai Gerindra tersebut, otomatis akan menimbulkan reaksi dari kalangan masyarakat berupa kekerasan antarmereka. Meskipun, pemerintah saat ini dinilai sudah berupaya untuk mengatasi persoalan toleransi.

Namun, ada beberapa catatan yang menurut Sodiq kerap memicu konflik, seperti pernah adanya wacana pembatasan materi khutbah, walaupun akhirnya tidak jadi dilaksanakan. Selain itu, pemerintah belum punya formula yang jitu untuk menangani konflik antarumat dengan kelompok-kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah dan kelompok lainnya.

''Solusinya, pemerintah memberikan penjelasan yang tuntas dan merata tentang ajaran agama terhadap toleransi,'' ujar dia.

Sekarang ini, Sodiq menuturkan, pemberian pemahaman itu tidak merata dan masih jauh dari konsep toleransi menurut agama Islam. Pemerintah mesti melakukan dialog yang intens dan substansial, bukan formalistisk antara tokoh dan komunitas agama, dan perlu dimediasi oleh pemerintah sampai level terbawah.

Waspadai juga kesenjangan ekonomi karena ini sering menjadi faktor pemicu konflik, termasuk yang bermotif agama. Aparat kepolisian juga wajib menegakkan hukum dengan tegas dan bijak untuk setiap kasus.

''Aparat keamanan bisa mengajak bicara tokoh agama dalam proses pemberian sanksi,'' ujarnya.   rep: Intan Pratiwi, Fauziah Mursid, Eko Supriyadi, ed: Muhammad Hafil

***

Indikator Survei BPS Soal Kebebasan Berkeyakinan

1.    Aturan tertulis yang membatasi atau mengharuskan masyarakat dalam menjalankan agamanya.

-    2014: 81,95 persen

-    2015: 80,43 persen

2.    Tindakan atau pernyataan pejabat yang membatasi atau mengharuskan masyarakat untuk menjalankan agamanya

-    2014: 91,29 persen

-    2015: 88,97 persen

3.    Ancaman kekerasan dan penggunaan kekerasan dari satu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lain terkait ajaran agama

-    2014: 89,39 persen

-    2015: 80,15 persen

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement