Rabu 24 Aug 2016 15:00 WIB

Pengabdian yang Terhalang Kewarganegaraan

Red:

Berbakti pada negara menjadi tanggung jawab dan keinginan oleh semua warga negara bagi bangsanya. Begitu juga dengan Gloria Natapradja Hamel dan Arcandra Tahar. Dua anak bangsa yang sedang hangat diperbincangkan karena persoalan kewarganegaraan ganda ini memiliki semangat yang sama dalam berbakti pada negara.

"Saya bangga menjadi warga negara Indonesia. Indonesia tumpah darah saya dan kala saatnya saya memilih warga negara, tentu saya akan pilih menjadi warga negara Indonesia," ujar Gloria, salah satu anggota Paskibraka Nasional yang batal dilantik oleh Presiden Joko Widodo, 15 Agustus lalu, karena dirinya memiliki paspor Prancis.

Perempuan 16 tahun blasteran Prancis ini memang tak menyangka terpaksa harus mengubur mimpi menjadi pengibar bendera di Istana. Sebab, Ia tercatat sebagai warga negara Prancis dan hanya memegang kartu identitas tetap (KITAP) yang dibuat karena ibunya merupakan warga negara Indonesia.

Kasus dia terungkap tiga hari sebelum pelantikan. Di mana pihak pembina Paskibraka sedang akan mengurus kepergian para Paskibraka ke Kuala Lumpur, Malaysia, sebagai salah satu agenda Paskibraka usai mengibarkan bendera di Istana Negara.

Deputi Bidang Pembinaan Pemuda dan Olahraga Sakhyan Asmara mengatakan, usai latihan terakhir sebelum pelantikan, semua Paskibraka diminta untuk mengumpulkan paspornya. Paspor tersebut berguna untuk pengurusan keberangkatan mereka ke Kuala Lumpur usai melakukan pengibaran bendera. Saat pengumpulan dilakukan, ternyata ada yang berbeda di antara 68 orang Paskibraka. Satu paspor atas nama Gloria Natapradja Hamel bukan merupakan paspor Indonesia, melainkan paspor Prancis.

"Jadi, waktu itu langsung kami rapatkan, mengapa paspor Gloria paspor Prancis. Kami memang di nasional mengakui tidak lagi melihat faktor administrasi dalam pemilihan calon Paskibraka karena calon yang sampai di nasional sudah melewati seleksi panjang dari tingkat kabupaten lalu provinsi baru ke nasional," ujar Sakhyan saat dihubungi Republika, Senin (22/8).

Sakhyan pun mengatakan, hal tersebut langsung menjadi pembahasan oleh menpora, panglima TNI, juga Kementerian Pertahanan. Dari diskusi dan perdebatan panjang, tetap akhirnya keputusan Gloria untuk tidak dikukuhkan sebagai Paskibraka Nasional. Sebab, hal ini merujuk pada syarat utama Paskibraka yang tertulis dalam permenpora yang menyatakan bahwa Paskibraka haruslah WNI.

"Tapi, kami memang dalam posisi yang sangat dilematis. Di satu sisi, kami juga mencoba meminta kepada panglima TNI, Kementerian Pertahanan, bahkan hingga presiden agar tetap bisa mengikutsertakan Gloria. Karena, ia juga masih 16 tahun dan belum mempunyai wewenang untuk memilih warga negara. Pun, ia sangat berjiwa nasionalis dan tetap memilih Indonesia," ujar Sakhyan.

Akhirnya, meski urung dikukuhkan sebagai Paskibraka nasional, Gloria tetap diikutsertakan dalam setiap kegiatan kontingen Paskibraka Nasional. Selain itu, Gloria sendiri pun akhirnya tetap diikutkan dalam pasukan penurunan bendera merah putih pada sore harinya di Istana Negara.

Sakhyan sendiri mengatakan, seleksi Paskibraka memang bukan serta-merta melatih fisik saja. Ada serangkaian tes yang harus dilewati oleh calon Paskibraka. Ia mengatakan, mulai dari tes fisik, psikologis, hingga kesehatan menjadi salah satu syarat calon Paskibraka sampai ke nasional. Namun, memang Sakhyan akui bahwa proses tersebut tak hanya berada di satu tempat. Tetapi, satu calon Paskibraka bisa masuk hingga nasional melewati banyak tes dan seleksi baik di tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional.

"Jadi, memang yang sampai ke nasional sudah paling saringan dan paling baik dari perwakilan daerahnya. Karena waktu yang mepet juga, kami langsung ke latihan fisik dan peningkatan rasa nasionalisme," ujar Sakhyan.

Berbeda tapi tak sama, nasib Gloria Natapradja Hamel menjadi pinang dibelah dua dengan kasus salah satu anak bangsa yang mendapatkan kewarganegaraan di Amerika Serikat (AS). Pria kelahiran Padang, 42 tahun yang lalu, Arcandra Tahar baru saja 20 hari menjabat sebagai menteri ESDM pada Kabinet Kerja Jilid II. Pergerakannya setelah dilantik oleh presiden menjadi menteri ESDM pun tak bisa dibilang pelan. Sebab, usai menjabat sebagai ESDM, dia membuat terobosan memangkas anggaran yang dinilai mubazir dalam sebuah proyek.

Arcandra juga memiliki sejumlah hak paten. Tak hanya itu, perusahaan besutannya di AS dalam bidang konsultan migas memiliki keuntungan yang cukup progresif.

Bermula, dari informasi yang beredar soal dwikewarganegaraannya mencuat, posisi Arcandra kemudian menjadi goyang. Meski banyak pihak yang menilai, persoalan dwikewarganegaraan hanyalah menjadi isu politis, tapi isu tersebut terus bergulir hingga Presiden Jokowi memutuskan mencopot Arcandra dari Kabinet Kerja Jilid II.

Direktur Jenderal Administrasi Hukum, Kemenkumham, Freddy Harris, mengatakan, Indonesia memang menganut asas warga negara tunggal. Namun, dalam perkara Arcandra, hal ini menjadi besar dan dibesar-besarkan akibat banyaknya komentar yang tak berlandasan. Freddy menilai, persoalan Arcandra ini dengan mudah bisa diselesaikan.

"Ini memang persoalan kewarganegaraan yang sebenarnya bisa langsung diselesaikan karena pertimbangan Arcandra memang memiliki jasa dan dinilai penting untuk negara. Di satu sisi, ia juga mengaku tak mengerti, dengan ia menjabat sebagai pejabat negara, ketentuan warga negara di Amerika sendiri langsung gugur kewarganegaraannya," ujar Freddy saat dihubungi Republika, Ahad (21/8).

Freddy menilai, kasus Arcandra lebih banyak ke faktor politisnya saja. Sebab, permasalahan kewarganegaraan memang bisa diselesaikan dengan melewati prosedur yang ada. Sekalipun ada prosedur yang hendak dilewati, hal tersebut mungkin saja mengingat kaitannya dengan pejabat negara. Ia menilai, dalam Pasal 20 UU Kewarganegaraan, pertama, tidak ada seorang warga negara pun yang stateless. Kedua, dalam perlindungan maksimum, Arcandra pernah menjadi WNI. Makanya dia harus dilindungi karena tidak ada di dunia manapun yang stateless.

Berkaca dalam dua kasus tersebut, pengamat hukum tata negara Refly Harun menilai, persoalan warga negara memang menjadi sangat saklek, mengingat negara Indonesia sendiri menganut kewarganegaraan tunggal. Namun, hal ini memang tak bisa diabaikan begitu saja. Sebab, UU sendiri mengatur bahwa pejabat negara memang tak boleh memiliki kewarganegaraan ganda dan wajib sebagai warga negara Indonesia.

Namun, berkaca dari hal Arcandra dan banyaknya anak bangsa berprestasi yang masih berada di luar negeri dan selalu terganjal oleh hal hal administratif ketika hendak pulang dan mengabdi pada negeri, Refly menilai perlu adanya kebijakan pemerintah yang menjelaskan dan mengkhususkan hal tersebut.

"Perlu ada revisi terbatas dan khusus yang mengatur hal tersebut. Kalau memang ia berjasa dan memiliki kemampuan yang dirasa dibutuhkan oleh pemerintah, maka bagaimana dengan dwikewarganegaraannya tersebut? Kalau memang harus menjadi WNI lagi, maka tinggal dijalankan saja mekanisme hukumnya dan prosedurnya. Ada banyak celah hukum yang bisa dilakukan untuk itu," ujar Refly saat dihubungi Republika, Senin (22/8).

Salah satunya pada UU Kewarganegaraan, dalam klausul diskresi, presiden dalam hal ini bisa mengambil kebijakan untuk memberikan kewarganegaraan Indonesia untuk Arcandra. Namun, memang tepat jika Arcandra diberhentikan dulu sebagai menteri, agar presiden sendiri juga tak melanggar UU yang mengatur syarat menteri.

"Tapi, kan ini bukan perkara jatuh menjatuhkan, ya diberhentikan dulu untuk kemudian diurus warga negaranya. Setelah itu bisa diangkat lagi," ujar Refly.    rep: Intan Pratiwi, ed: Muhammad Hafil

Ikhtisar

1. Indonesia menerapkan aturan kewarganegaraan tunggal.

2. Pemerintah menilai persoalan Arcandra lebih kepada persoalan politis.

3. Pasal 20 UU Kewarganegaraan menyebut seseorang bisa dinaturalisasi menjadi WNI jika berjasa pada negara dan negara membutuhkannya.

4. Menpora berkonsultasi dengan panglima TNI dan Kementerian Pertahanan sebelum memutuskan bahwa Gloria tak bisa menjadi anggota Paskibraka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement