Rabu 09 Nov 2016 15:00 WIB

Masih Perlu Banyak Sosialisasi

Red:

Pada pekan awal diberlakukannya larangan penggunaan styrofoam, beberapa pedagang makanan masih ada yang menggunakan styrofoam. Menurut karyawan restoran Gado-gado Batununggal Jalan Cibadak, Anita (22 tahun), ia masih menggunakan styrofoam karena belum tahu ada aturan tersebut.

"Saya belum tahu ada larangan pemakaian styrofoam makanya masih pakai," ujar Anita, akhir pekan lalu.

Hal tersebut diungkapkan Anita saat didatangi Lurah Cibadak Iwa Kartika. Di restoran tersebut, styrofoam pun masih terlihat bertumpuk sebagai persediaan untuk konsumen yang ingin membeli gado-gado untuk dibawa pulang.

Iwa pun langsung mengumpulkan seluruh karyawan restoran dan memberikan penyuluhan. "Mulai Selasa, 1 November 2016, tidak boleh pakai styrofoam sesuai intruksi wali kota," kata Iwa.

Iwa menyuruh karyawan menyimpan styrofoam agar tidak digunakan lagi dan akan dikontrol kembali. "Saya nanti akan datang lagi mengecek. Jika masih bandel menggunakan styrofoam, ada sanksi," kata Iwa.

Para karyawan mengaku baru tahu larangan pemakaian styrofoam dari Lurah Cibadak karena tidak pernah membaca koran. "Siap, Pak. Saya sampaikan kepada pemiliknya karena baru tahu hari ini dari pak lurah," ujar Anita.

Berdasarkan pantauan Republika, beberapa pedagang seblak pun terlihat masih menggunakan styrofoam untuk pembungkus makanan. Misalnya, pedagang seblak di Jalan Merdeka.

Sementara, menurut salah seorang pemilik toko plastik di Jalan Astanaanyar, Acing Ongkomulyo, pihaknya memang tidak terlalu merugi. Terlebih, stok styrofoam di gudangnya bisa dikembalikan ke pabriknya dan diterima. Bahkan, kalau ada konsumen langganannya yang baru membeli styrofoam ini belum terlalu lama, mereka bisa mengembalikan ke tokonya untuk dikembalikan ke pabriknya.

Acing dan beberapa penjual didatangi mengaku setuju dan tak akan menjual lagi styrofoam. Mereka sudah memiliki penggantinya berupa karton yang lebih bagus dan menarik, meskipun harganya tiga kali lipat lebih mahal. Jika styrofoam Rp 350 per buah, karton Rp 1.300 per buah. Karena alasan itu, Acing belum banyak membeli ataupun menjual karton tersebut.

Menurut penjual seblak di Jalan Babakan Irigasi, Siti Nurhayati, ia masih memiliki 10 pieces styrofoam. Siti baru tahu masalah pelarangan itu dan ia mengaku tidak akan menjual seblak lagi menggunakan styrofoam, tetapi dengan plastik bening.

"Ya, saya akan mendukung pelarangan itu," katanya.

Senada dengan Siti, tukang bubur di Jalan Sindanglaya, Eman Sulaeman, mengatakan, ia mendukung program Pemkot Bandung yang melarang penggunaan styrofoam. Karena, selama ini ia menggunakan plastik untuk membungkus buburnya.

"Harga plastik makanan lebih murah dari styrofoam, jadi selama ini saya pakai plastik," katanya.

Direktur Eksekutif Peduli Lingkungan Jawa Barat (Pelija) Qudrat Iswara mengatakan, styrofoam adalah satu zat yang sulit diurai. Jadi, perlu didaur ulang. Selain itu, zat kimia yang ada dalam styrofoam berbahaya kalau bereaksi dengan makanan panas.

Menurut Qudrat, ia mendukung kebijakan yang dibuat oleh Pemkot Bandung. Tetapi, dirinya berharap pemkot tak hanya bisa melarang, tapi juga bagaimana memberikan nilai tambah pada styrofoam yang sudah menumpuk. "Tak hanya melarang, yang sudah ada harus ada solusinya. Ini masalah budaya masyarakat," katanya.

Ia sedikit pesimistis atas larangan penggunaan styrofoam ini bisa berhasil. Karena, sebelumnya larangan plastik yang dibuat pemkot pun tak efektif berjalan. Saat ini, restoran besar juga masih menggunakan styrofoam dan plastik. "Tak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Ini terkait budaya," katanya. rep: Arie Lukihardianti  ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement