Menjelang Senin (19/12), sejumlah pemuda-pemudi Papua berencana menggelar aksi mengenang infiltrasi militer Indonesia ke Papua pada 19 Desember 1961. Belum juga aksi berjalan, puluhan mahasiswa dan pemuda itu ditangkap kepolisian sejak Ahad (18/12) malam terkait rencana tersebut.
Pada hari yang sama, Presiden Joko Widodo meresmikan peluncuran lembaran uang nasional dengan perwajahan baru. Dalam desain uang baru, ada wajah Frans Kaisepo pada pecahan Rp 10 ribu. Ini pertama kalinya seorang Papua dicantumkan pada desain mata uang. "Pertanyaannya adalah, sejak kapan orang Papua pernah berjuang bersama Indonesia?" kata Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Sebby Sambom kepada Republika soal penempatan wajah Frans Kaisepo tersebut, Selasa (27/12).
Frans Kaisepo, dalam pandangan Sambom, perannya semata meleburkan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam bahasa yang cenderung subversif, menurut Sambom, Frans Kaisepo bahkan dianggap sebagai pengkhianat bangsa Papua. Sambom menilai, penempatan Frans Kaisepo sekadar upaya pencitraan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk meredam aksi-aksi damai menuntut referendum di Papua yang marak beberapa tahun belakangan.
Frans Kaisepo yang lahir pada 1921 telah mendukung bergabungnya Papua dengan NKRI sejak 1945. Ia juga yang mengusulkan pergantian nama Papua jadi "Irian", sebuah kata dari bahasa Biak—bahasa ibu Frans Kaisepo—yang artinya "tanah panas" atau "beruap". Sejarah merekam, Kaisepo melindungi para tentara Indonesia saat memasuki secara diam-diam wilayah Papua pada 1961.
Pihak Bank Indonesia (BI) melansir bahwa desain mata uang baru didasari kebinekaaan atau keragaman Indonesia. Hal itu salah satu alasan Frans Kaisiepo ditempatkan pada lembaran mata uang. Sedangkan, Kantor Perwakilan BI Papua beralasan, Frans Kaisepo ditaruh pada pecahan Rp 10 ribu yang paling banyak beredar di Papua.
Seperti anak Papua lainnya, Frengki Warer (32 tahun), mengaku sudah diajari soal Frans Kaisepo sebagai pahlawan nasional sejak bersekolah dasar di Biak. Ia yang sehari-hari hidup di Jayapura dan aktif membela mama-mama Papua yang berjualan di pasar tradisional mengakui, ada sekutip rasa bangga di hati. "Tapi, kenapa baru sekarang ditaruh itu muka di uang kertas?"
Frengki menekankan, bisa jadi memang pemerintah pusat bermaksud mengangkat harkat martabat orang Papua dengan menempatkan salah satu dari mereka di lembaran uang kertas. Namun, hal itu bakal sia-sia selama di akar rumput keadaannya tetap seperti saat ini. "Rakyat Papua bergelut dengan ketimpangan, baik karena kesalahan sendiri maupun sistem yang ada," ujarnya.
Mama-mama Papua yang bakal menggunakan lembaran-lembaran tersebut untuk bertransaksi memerlukan langkah yang lebih konkret memajukan keadaan mereka. Menurut anggota Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, penelitian LIPI sejak 2004 hingga 2016 mengungkapkan, politik identitas Papua memang berkembang pesat di kalangan intelektual dan anak-anak muda Papua. "Mereka makin mempertanyakan integrasi ke NKRI, mempertanyakan pelanggaran-pelanggaran HAM," ujarnya kepada Republika, kemarin.
Tak sedikit di kalangan kaum muda Papua yang meminta hak menentukan nasib sendiri. Narasi-narasi sejarah versi pemerintah pusat semacam kepahlawanan Frans Kaisepo mereka pandang dengan lebih kritis. Ia menilai bahwa langkah penempatan tokoh Papua dalam lembaran uang kertas sebagai langkah arif dari pemerintah. Meski begitu, kebijakan itu saja belum cukup merebut hati orang Papua. Oleh Fitriyan Zamzami, ed: Erdy Nasrul