Rabu 17 Feb 2016 15:00 WIB

Maneger Nasution, Komisioner Komnas HAM: Kalau Diformalkan Jadi Problem

Red:

Apakah perlindungan terhadap kaum penyuka sesama jenis (LGBT) berbentuk aturan formal perundang-undangan?

Sebetulnya adanya LGBT itu realitas. Kalau urusan pribadi, iya (sebatas di ranah pribadi). Tetapi, jangan diformalkan. Kalau diformalkan, itu jadi problem. Bertentangan dengan konstitusi kita.

Maksudnya, siapa pun warga negara, termasuk mereka (kaum LGBT), kalau mengalami diskriminasi, perlakuan kasar, atau kekerasan, negara kan wajib melindungi mereka.

Sudah ada KUHP, apa lagi yang mau dilindungi?

Tetapi, kalau yang dimaksud adalah perlindungan supaya mereka bisa kawin sesama jenis, itu tak bisa. Konstitusi kita, UU Perkawinan, Pancasila, tidak membuka peluang untuk itu. Semua agama yang ada di Indonesia juga tak membenarkan.

Jadi, siapa pun yang mengalami ancaman, kekerasan, penganiayaan, negara memang wajib melindungi tiap warganya, termasuk LGBT. Kan sudah ada undang-undangnya, untuk melindungi semua.

Jadi, berlebihan bila mereka menuntut legalisasi LGBT?

Kalau berkaitan dengan hak-hak dasar, kan sudah ada undang-undangnya. Kalau mengalami diskriminasi, kekerasan, negara wajib hadir melindungi mereka. Termasuk melindungi warga negara kita yang LGBT itu. Mereka warga negara Indonesia juga kan?

Bagaimana bila tuntutannya terkait aktivitas orientasi seksual mereka di ruang publik, semisal bercumbu?

Jangankan yang sesama jenis, yang normal saja enggak boleh. Normal, maksudnya itu antara laki-laki dan perempuan saja, enggak boleh. Kan ada kesopanan di depan umum. Itulah sebetulnya tinggal kita jawab. Enggak usah pakai undang-undanglah kalau di depan umum, siapa pun pasti enggak membolehkan.

Bagaimana kalau kampanye LGBT di Tanah Air menginginkan perlakuan yang sama, seperti di negara-negara yang sudah melegalkan perkawinan sesama jenis?

Jadi, rezim Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DU-HAM) itu kan sudah terang. Ada 30 pasal dan tak ada satu pasal pun yang membolehkan secara perinci perkawinan sejenis. Karena ia tidak perinci alias longgar atau abu-abu, maka hukum yang paling mengikat (bagi kaum LGBT) adalah hukum nasional masing-masing negara.

Kalau di Indonesia, ya hukum Indonesia. Jadi, undang-undang tentang HAM itu masuk ke Indonesia setelah kita ratifikasi (DU-HAM) kita sahkan. Tetapi, (penerapan HAM) sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, termasuk budaya kita Indonesia.

Maka sesungguhnya yang paling mengingkat untuk kita, termasuk warga negara Indonesia yang LGBT, adalah hukum yang berlaku di Indonesia.

Bagaimana kalau di negara lain boleh?

Itu sangat bergantung pada negara masing-masing. Kalau misalnya di beberapa negara mengesahkan, itu karena budaya masyarakatnya memang memungkinkan. Kalau di Indonesia kan tidak memungkinkan. Oleh Hasanul Rizqa, ed: Ferry Kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement