Jumat 12 Sep 2014 17:00 WIB

Tidak Benar Pilkada Langsung Mahal

Red:

Mayoritas fraksi di DPR yang mendukung pemilihan kepala daerah lewat DPRD beralasan, pesta demokrasi pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) telah menghabiskan banyak anggaran negara. Apakah benar demikian? Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Kuskridho Ambardi membantah argumentasi pemilukada mahal lewat wawancara khusus dengan wartawan Republika, Ira Sasmita, berikut ini:

Sebagian besar fraksi di DPR mendukung pemilukada di DPRD atas alasan efisiensi anggaran. Pemilukada langsung dinilai sangat mahal. Menurut Anda?

Soal pemilukada mahal atau murah itu sebenarnya isu yang misleading (menyesatkan) dan tidak pas. Karena menghitung murah atau mahalnya tidak jelas. Rp 25 miliar diukur secara personal jelas mahal dan besar. Tapi, jika diukur dari proporsi APBD kan tidak. Penyelenggaraan sebuah pemilukada sekitar Rp 25 miliar sampai Rp 50 miliar. Kalau APBD DKI Jakarta sebesar Rp 72 triliun, maka proporsi biaya pemilukada hanyalah 0,0007 persen.

Dari pelaksanaan pemilukada langsung yang telah berjalan, rata-rata besar anggaran yang digunakan dari APBD persentasenya berapa?

Menghitungnya kan berarti proporsional dengan jumlah penduduk dan luas daerah. APBD kan juga jumlahnya berbeda, semakin ke tengah atau di pusat kota, pusat ekonomi seperti DKI Jakarta lebih besar. Lalu mengikuti daerah di Pulau Jawa, lalu di luar Jawa. Dari sekian banyak pemilukada langsung itu, perbandingan biaya penyelenggaraan dengan total APBD itu kecil sekali.

Pos mana saat pemilukada diselenggarakan yang sebenarnya menyedot dana paling besar?

Nah, di sini yang harus dibedakan. Orang sering berkata pemilukada mahal. Mahal itu mahal apanya. Mahal penyelenggaraan atau mahal pencalonan. Kalau penyelenggaraan kan biayanya bisa diukur, bisa diperkirakan. Tapi, pencalonan dan variabel tak terduga itu kan dari biaya kampanye politisi. Anggaran yang sama sekali tidak berhubungan dengan uang negara. Ngapain mereka kasih pemilih duit, kasih serangan fajar, beli suara. Itu yang bikin bengkak pengeluaran

Jadi, justru biaya mahal berasal dari politisi itu sendiri?

Iya, yang bikin boros itu Anda loh (politisi). Sebagian besar mereka minder dengan cara membangun dukungan melalui program itu dan memilih jalan pintas membeli suara. Pemilukada mahal itu sebenarnya problem elite. Warga hanya memiliki kesempatan lima tahun sekali untuk mengontrol para kepala daerah lah kok kemudian dimatikan, dihapus.

Lalu bagaimana desain pemilukada langsung, tetapi bisa menekan anggaran?

Pemilukada serentak paling tepat dilakukan. Semua biaya dikeluarkan hanya satu kali. Dari segi penyelenggara, hanya sekali menggaji saksi, sekali menggaji honor. Sekali menyiapkan administrasi penyelenggaraan. Kalau dari peserta atau kelompok elite, mereka itu harus berpikir. Bahwa sesungguhnya bisa membikin kesepakatan untuk tidak membeli suara agar pengeluaran mereka minimal. Dan, mereka berlomba untuk menawarkan program untuk menjaring pemilih. Kalau pembatasan atribut, pembatasan kampanye itu kan mengikuti saja.

Apa hal terburuk yang harus dipertimbangkan partai yang ngotot pemilukada di DPRD?

Mereka itu harus berpikir apa manfaatnya bagi partai kalau pemilihan tidak langsung. Cukong-cukong itu bisa beli suara DPRD supaya memilih calon tertentu. Calon yang belum tentu dari partai mereka. Elite ini nggak berpikir seperti itu. Apa lagi disiplin partai kan rendah sekali. Dalam satu partai tidak satu suara itu sering sekali. Yang satu dukung a, satu dukung b. Itu akan terjadi kalau pemilihan di DPRD. Justru itu akan merugikan partai tersebut. Ini yang tidak dipikirkan politisi.  ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement