Menurut Herbert Giersch, ekonom asal Jerman, neoliberalisme merupakan sistem perekonomian yang berdiri di atas tiga prinsip. Pertama, pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas sempurna di pasar.
Kedua, pengakuan kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi. Ketiga, pembentukan harga pasar oleh negara melalui penerbitan undang-undang. Posisi negara, dalam sistem ini, dibatasi hanya sebagai pengatur dan pengawas agar mekanisme pasar bekerja.
Adapun Joseph Eugene Stiglitz, ekonom Amerika Serikat yang juga profesor di Columbia University, menyebut peran negara dalam neoliberalisme menekankan penerapan kebijakan anggaran ketat, yang di dalamnya berarti menghapus subsidi. Selain itu, menurut peraih Nobel Ekonomi ini, negara berperan meliberalisasi sektor keuangan, sektor perdagangan, dan privatisasi BUMN.
Banyak kalangan ekonom mendiametralkan konsep neoliberalisme dengan ekonomi kerakyatan. Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, perekonomian Indonesia semestinya dibangun berdasarkan tiga prinsip dasar.
Pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Kedua, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Ketiga, bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Saya tidak bermaksud mengajak pembaca untuk mengurai mana yang lebih utama dan menguntungkan antara mazhab neoliberalisme ataukah ekonomi kerakyatan. Saya juga tidak berkehendak untuk mendikotomikan dua aliran ekonomi tersebut. Saya hanya ingin mengajak pembaca untuk menyelami kembali makna Pasal 33 UUD 1945. Sejauh mana pasal tersebut mewujud dalam bentuk program-program pemerintah.
Sepanjang dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak sedikit program pemerintah yang diklaim prorakyat digulirkan. Bahkan, untuk menekankan bahwa program tersebut didekasikan untuk kepentingan rakyat, disertakan kata "rakyat" pada nama program itu. Sebut seperti program Kredit Usaha Rakyat (KUR), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, bantuan langsung tunai, dan banyak lagi yang lainnya.
Akankah program-program prorakyat itu berhasil mengentaskan rakyat dari jerat kemiskinan? Untuk mendapatkan jawabannya, bergantung pada di mana kita memosisikan diri.
Tinggalkan pertanyaan itu, mari kita menatap ke depan. Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla sebulan lagi akan dilantik. Jokowi-JK pun telah mengumumkan komposisi kabinetnya: 18 menteri berasal dari tokoh profesional dan 16 menteri dari tokoh profesional partai. Jokowi menjanjikan komposisi kabinetnya diisi orang-orang yang profesional.
Dengan mengusung konsepsi Kabinet Trisakti yang mendasarkan program-programnya pada prinsip berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya, tentu sosok profesional saja tidaklah cukup. Selain kemampuan teknis profesional, menteri tersebut haruslah sosok yang ideologis berdasarkan prinsip-prinsip Trisakti tadi.
Posisi menteri adalah jabatan politis, karena itu sang menteri juga mesti memahami bagaimana keberpihakan pada rakyat kecil, ketimbang sekadar memanjakan pengusaha berkapital besar. Seorang menteri mestinya memilih berpihak kepada pengusaha rumahan yang kesulitan menjangkau akses ke konsumen daripada mementingkan pengusaha bermodal besar yang diberi peluang begitu mudahnya untuk menjangkau pasar.
Seorang menteri mestinya menerbitkan regulasi yang memudahkan bisnis padat karya terus bertumbuh ketimbang hanya fokus pada usaha padat modal yang tidak mengurangi angka pengangguran. Seorang menteri tidak hanya berkutat pada otak-atik angka-angka ekonomi makro demi memuaskan rating dan penilaian lembaga pemeringkat internasional tapi mengabaikan fakta jumlah warga miskin yang tak kunjung berkurang.
Di sinilah begitu pentingnya sosok menteri keuangan, menteri BUMN, menteri energi, dan menteri pertanian. Sejauh mana menteri-menteri tersebut berpihak pada ideologi Trisakti? Kita akan melihatnya setelah Jokowi-JK mengumumkan nama-namanya. Semoga kabinet Jokowi-JK tidak melupakan akar ideologi Trisakti itu sendiri.
Oleh Nur Hasan Murtiaji
E-mail: [email protected]