Selasa 07 Oct 2014 16:00 WIB
Sudut Pandang

Mengerek Rupiah dari Dalam Negeri

Red:

Pada akhir 2012, saya mewawancarai seorang kepala ekonom dari sebuah bank mengenai kemungkinan pelemahan rupiah hingga melampui batas psikologis yang saat itu masih Rp 10.000 per dolar AS. Ekonom itu menjawab optimis nilai tukar rupiah tidak akan melampui batas psikologis karena pasar AS masih terpuruk. Sebagai negara berkembang, pasar uang Indonesia masih dipandang menarik karena menawarkan bunga menggiurkan.

Kondisi itu ternyata tidak berlangsung lama. Kurang dari tiga tahun, ekonomi AS membaik. Perbaikan ekonomi di AS itu berubah menjadi malapetaka bagi ekonomi nasional. Data positif ekonomi AS langsung disambut bank sentral setempat, Federal Reserve (the Fed), dengan rencana menarik stimulus ekonomi (tapering off). Dalam rapat the Fed pada 17 September lalu, stimulus ekonomi berupa pembelian obligasi (quantitative easing) akan diganti dengan kebijakan suku bunga.

Arah pasar kemudian berubah. Pasar uang AS yang selama ini tidak menawarkan bunga menarik kembali jadi perhatian. Pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, mulai kelimpungan. Ini setidaknya bisa tergambar dari menguatnya nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang negara di Asia Pasifik. Penguatan itu terjadi hanya sehari pascarapat the Fed.

Nilai tukar rupiah akhirnya tembus level di atas Rp 12 ribu per dolar AS. Setelah melampui Rp 10.000, nilai tukar rupiah memiliki level psikologis baru Rp 12.000 per dolar AS. Level itu pun lewat.

Kondisi ekonomi AS tentu bukan satu-satunya penyebab rupiah kehilangan tenaga untuk menguat. Data ekonomi nasional ternyata lembek untuk mengerek rupiah. Neraca perdagangan Agustus 2014 tercatat defisit 318,1 juta dolar AS. Impor yang membutuhkan pembayaran dalam dolar AS lebih tinggi dibandingkan ekspor. Ketergantungan Tanah Air pada bahan bakar minyak (BBM) impor membuat sulit untuk membalikkan posisi neraca perdagangan.

Sentimen pelaku pasar ternyata juga masih gampang digoyang isu politik dalam negeri. Gaduh politik dalam negeri pascapemilihan presiden disambut dengan hengkangnya investor asing dari pasar modal. Mereka ragu dengan perbaikan ekonomi dalam negeri jika tidak ada stabilitas politik. Hasilnya, rupiah melanjutkan pelemahan terhadap dolar AS.

Kekuatan rupiah pun akhirnya hanya bergantung pada intervensi Bank Indonesia. Akan tetapi, bank sentral tampaknya tidak banyak menghamburkan dolar AS di pasar untuk menolong rupiah. Cadangan devisa (cadev) pada September 2014 hanya turun 60 juta dolar AS menjadi 111,164 miliar dolar AS dari posisi Agustus 2014.

Saat Indonesia menikmati keuntungannya sebagai negara berkembang, barangkali ia lupa jika ekonomi AS juga bisa membaik. Sementara, Pemerintah AS sibuk memperbaiki ekonomi, impor BBM di Tanah Air yang terus membutuhkan dolar AS, tidak dikurangi. Pasar uang dalam negeri masih dangkal. Kini, setelah ekonomi AS membaik, kondisi pasar uang di Tanah Air belum kuat menahan gejolak dari eksternal.

Dengan rencana percepatan kenaikan suku bunga the Fed, otoritas ekonomi dalam negeri tidak bisa lagi mengandalkan keunggulan negara berkembang. Sudah semestinya otoritas ekonomi Tanah Air membangun buffer dengan memperkuat pasar uang. Setidaknya, Indonesia masih memiliki sisa tenaga, yakni dukungan populasi penduduk dan naiknya masyarakat ekonomi menengah.

Setelah menikmati keuntungan sebagai negara berkembang, saatnya pemerintah menentukan kebijakan yang menentukan ekonomi seperti subsidi BBM. Jika subsidi BBM tidak dikurangi, setidaknya pemerintah punya kebijakan lain yang dapat mengurangi impor BBM. Ini agar impor BBM tidak terus membengkak yang pada akhirnya membebani perekonomian. Tentunya, kebijakan ekonomi itu juga harus didukung dengan stabilitas politik untuk merebut kembali hati pelaku pasar.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement