Senin 12 Jan 2015 15:31 WIB
Ekonomi Islam

Mencetak Ahli Ekonomi Islam di Universitas Moestopo

Ekonomi syariah (ilustrasi)
Foto: aamslametrusydiana.blogspot.com
Ekonomi syariah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fuji Pratiwi

Berkembangnya industri keuangan syariah baik di Indonesia membuat universitas membaca peluang dan potensi besar dalam melahirkan tenaga keuangan syariah. Peluang ini juga yang dilihat Universitas Moestopo Beragama dalam workshop mereka gelar pekan lalu. Workshop ini ditujukan sebagai persiapan untuk membuka program studi ekonomi Islam.

Rektor Universitas Moestopo Beragama Sunarto menuturkan, pembukaan program studi ekonomi Islam sejalan dengan visi Universitas Moestopo menuju universitas yang unggul, profesional dan berintegritas. Penyelenggaraan program studi ekonomi Islam oleh perguruan tinggi dinilai sangat memungkinkan karena nomenklatur ekonomi Islam sudah ada di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi.

''Saya harap lulusan tidak hanya pandai dalam keuangan syariah secara teori dan praktik, tetapi mampu menerapkan nilai-nilai agama yang menjadi filosofi industri ini,'' kata Sunarto.

Informasi ini disambut baik oleh Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Nurul Huda. Ia mengungkapkan perguruan tinggi yang membuka program studi baru harus menerapkan kurikulum berdasarkan kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI). Ini berarti, tenaga ahli Indonesia mendapat penilaian kesetaraan dan pengakuan kualifikasi dengan negara lain.

Ketua Umum Korps Alumni Forum Silaturrahim Studi Ekonomi Islam (KA FoSSEI) Hendro Wibowo menilai lulusan perguruan tinggi ke depan tidak hanya mempunyai ijazah formal dari kampus. Mereka juga dinilai perlu mendapat ijazah pendamping seperti sertifikasi profesi. Ini penting agar para lulusan baru bisa masuk industri keuangan dengan proses adaptasi yang lebih mudah.

Dewan Penasihat Korps Alumni FoSSEI Ali Sakti mengatakan, berdasarkan data Global Islamic Financial Report (GIFR), Indonesia berada posisi ketujuh atau lima tingkat untuk industri keuangan syariah pada 2014. Posisi itu di bawah Malaysia yang berada di posisi kedua. Hal ini karena Malaysia sudah menjadikan keuangan syariah sebagai agenda nasional mereka.

Meski demikian, tahun depan Indonesia masih memiliki peluang besar mengembangkan industri keuangan syariah. Hal ini karena pangsa pasar industri keuangan syariah di Tanah Air masih relatif kecil.

Berdasarkan hasil penelitian World Bank pada 2012 lalu, baru 27 persen penduduk Indonesia yang menggunakan jasa keuangan formal perbankan. Sedangkan, baru tujuh persen penduduk yang menggunakan jasa keuangan informal seperti koperasi dan baitul mal wa tamwil (BMT). Angka itu lebih kecil daripada penduduk yang masih terlibat keuangan dengan rentenir yakni mencapai 26 persen.

''Jika pemerintah mau menjadikan keuangan syariah sebagai agenda nasional seperti Malaysia, industri keuangan syariah Indonesia bisa berkembang pesat dibandingkan dengan negara lain,'' ujar Ali. N ed: nur aini

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement