Senin 06 Oct 2014 13:00 WIB

Orang-Orang Terlupakan

Red:

Oleh: Rahmat Hadi Sucipto -- Pangan masih menjadi masalah utama bagi Indonesia. Tentu, problem pangan di Indonesia berbeda dengan yang dihadapi negara-negara lain di dunia. Bukan persoalan penduduk yang kekurangan pangan, melainkan negara ini belum mampu sepenuhnya menyediakan kebutuhan pangan secara mandiri.

Swasembada pangan masih menjadi mimpi. Dengan kebijakan, sikap, dan langkah-langkah pemerintah seperti saat ini, mustahil mimpi itu bisa berubah menjadi kenyataan.

Isu yang berkembang, Indonesia harus berdaulat dalam bidang pangan, selain juga pada sektor energi, tak sekadar mampu menjaga ketahanan pangan. Asal pemerintah serius, segalanya menjadi sebuah keniscayaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/Adhi Wicaksono

Jika pemerintah terlelap, tak mustahil pula masalah Indonesia akan seperti yang dihadapi oleh negara-negara lain. Padahal, pangan juga masih menjadi masalah internasional.

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyatakan, makin banyak orang yang meninggal dunia karena kelaparan dan malanutrisi ketimbang karena terjangkit AIDS, TBC, dan penyakit malaria. Bank Dunia pun memperkirakan produksi tanaman biji-bijian harus bisa naik hingga 50 persen dan daging 85 persen pada 2030 mendatang agar bisa memenuhi kebutuhan penduduk yang juga terus bertambah.

Pada 2009 saja krisis pangan melanda 32 negara, sementara tahun sebelumnya menimpa 36 negara. Krisis serupa bisa saja terjadi pada masa-masa mendatang.

Pada 2050 jumlah populasi dunia diperkirakan akan menembus 9,0 miliar jiwa, naik dari angka sekarang sebanyak 6,8 miliar jiwa. Tentu, pertambahan jumlah penduduk berbanding lurus dengan kebutuhan dan permintaan terhadap pangan.

Harga pangan pada 2008 meroket dan menjadi peringatan bagi pemerintahan di seluruh negara manapun. Sebagai contoh, pada tahun itu harga gandum melonjak hingga 130 persen, sorgum naik 87 persen, sementara harga beras meningkat 74 persen. Kenaikan harga ini membuat 36 negara di dunia mengalami masalah pangan serius. Masalah pangan pula yang menyebabkan pemerintahan yang berkuasa di Haiti digulingkan.

Pertanian di Indonesia menghadapi banyak masalah. Ternyata puluhan tahun negara ini merdeka, problem yang dihadapi oleh kebanyakan petani di Tanah Air tak hanya menyangkut off-farm, tetapi juga on-farm.

Problem on-farm termasuk kesulitan dalam proses budi daya pertanian, mulai dari penyediaan benih/bibit, pupuk, obat-obatan, dan sarana produksi lainnya. Intinya petani tak optimal dalam menggarap tanamannya sehingga hasil panen tak memuaskan.

Masalah off-farm dianggap sebagai yang lebih serius dihadapi oleh nyaris seluruh petani di Indonesia. Begitu petani selesai bercocok tanam, lalu ingin memanen, mereka harus berhadapan dengan harga yang tak menguntungkan. Semua harga komoditas pertanian yang menentukan bukan para petani, tetapi para calo, tengkulak, bandar, atau juragan. Orang-orang yang hidup di kota-kota besar justru yang menjadi penentu turun dan naiknya harga komoditas pertanian.

Tentu fakta ini sangat miris karena terjadi selama bertahun-tahun dan berulang-ulang. Terkadang petani terpaksa menjual dengan sistem ijon atau panen tebasan demi mendapatkan hasil panen yang cepat sehingga mereka bisa memegang uang.

"Kalau pake tebasan, kita memang enak. Semua yang urus pembeli, kita tinggal terima bersih," ungkap Rudi, petani yang sehari-hari hidup dari bercocok tanam di Desa Jatibarang Lor, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes.

Namun, saat panen jagung pipil beberapa hari lalu, Rudi tak menjual dengan model tebasan ke pembeli. "Sabar sajalah. Saya panen sendiri saja. Tinggal cari buruh untuk bantu panen. Selisih untungnya bisa satu juta kalau panen sendiri," ujar Rudi.

Selama ini para petani di Kabupaten Brebes dan daerah-daerah lain memang selalu dihadapkan pada dua pilihan saat panen. Petani jagung di Brebes, misalnya, akan kehilangan potensi untung hingga Rp 1 juta bila menjual dengan cara tebasan ke pedagang atau pembeli. Namun, petani tak lagi direpotkan dengan penanganan pascapanen jagung pipilan.

Bila panen sendiri, petani harus mempekerjakan buruh tani. Perlu lebih dari 10 orang buruh tani untuk membantu memetik dan memotong tanaman jagung. Upah untuk satu orang tenaga kerja tani perempuan bisa mencapai Rp 55 ribu per hari untuk kerja satu hari penuh. Sementara, untuk tenaga kerja lelaki bisa Rp 80 ribu per hari.

Para buruh tani perempuan hanya bekerja untuk memetik jagung dari tangkai tanaman. Lalu, mereka juga yang memasukkan jagung ke karung-karung. Para buruh tani laki-laki yang mengikat karung berisi jagung, lalu memanggul dan memindahkannya ke truk atau alat transportasi lainnya dari sawah/tegalan.

Pekerjaan pascapanen jagung pipilan belum berhenti. Setelah jagung dipindah ke gudang atau ke tempat penyimpanan di rumah, pekerjaan baru sudah menanti. Mereka harus cepat-cepat membuang kelobot dari tongkol jagung, kemudian memipil atau melepas biji jagung dari tongkolnya. Pekerjaan ini juga membutuhkan waktu beberapa hari. Kalau dengan alat bantu pipil bertenaga mesin, pekerjaan memipil bisa lebih cepat selesai.

"Kalau pake alat engkolan, ya lebih lama lagi. Tapi, kalau mau pakai mesin harus buat sendiri atau pesan ke tukang mesin. Bikin gampang sih. Cuma harganya juga lumayan," kata Sugiwo, petani lainnya di Desa Janegara, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes.

Setelah selesai memipil, petani harus menjemur jagung. Tentu, butuh halaman yang luas agar jagung pipilan bisa cepat kering. Kebanyakan petani masih pakai sistem tradisional, hanya mengandalkan sinar matahari untuk mengeringkan jagung pipilan.

Begitu jagung sudah tampak kering, petani bisa menjualnya ke pedagang. "Memang jarang rugi nanem jagung, tetapi hasilnya tipis. Masih lebih untung tanam padi," kata Rudi.

Beberapa petani bahkan tak menanami lahan miliknya, tetapi menyewakannya kepada petani-petani lain. Sewa lahan seluas 1,0 ha di Kabupaten Brebes sudah lebih dari Rp 14 juta. Bahkan, sekarang sudah banyak yang di atas Rp 16 juta.

"Tergantung bekas tanam apa, sama posisi lahannya. Kalau dekat jalan besar, ya pasti lebih mahal. Kalau agak jauh atau jauh dari jalan bisa lebih murah," ujar Wahid, petani dari Desa Kertasinduyasa, Jatibarang, Brebes, yang sudah beberapa musim ini menyewakan lahannya ke petani lain.

Berdasarkan pengalaman, hasil menyewakan lahan sawah bisa lebih untung ketimbang menanami sendiri dengan padi, jagung, atau bawang. Mereka tak akan dihadapkan pada risiko gagal panen. Itulah yang membuat Wahid memutuskan tak bertanam sendiri. Apalagi, dia juga bisa menjadi calo tanah, pekerjaan lain yang sudah dijalani selama beberapa tahun.

Petani juga mulai khawatir karena banyak orang dari Jakarta mengincar lahan di Brebes. Mereka ingin membeli lahan, tetapi tak dipakai untuk bertanam. "Ya, mereka beli, lalu dibangun untuk tempat usaha," tutur Tasul, petani yang juga calo tanah dari Desa Pemaron, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes.

Sewa lahan saat ini menjadi strategi bagi para petani, terutama yang memiliki lahan sempit atau sama sekali sudah tak punya sawah sendiri untuk melanjutkan hidup dengan bertani. Bila lahan dibeli oleh orang-orang kota, mereka terancam tak bisa bertanam karena sawah berubah fungsi menjadi tempat usaha atau bisnis.

"Ya, itu sih hak mereka. Kan mereka yang punya lahan. Tapi, orang kayak saya jadi bingung. Kalau lahan sedikit, pasti petani rebutan cari sewa lahan," ujar Taslim, petani asal Desa Lengkong, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, yang selalu mengandalkan sewa lahan untuk bertani sehari-hari.

Kedatangan orang kota ke Brebes membuat harga sewa dan harga jual tanah di Brebes menjadi makin mahal. Dulu sewa lahan sawah bisa di bawah Rp 10 juta per ha. Lalu, naik terus hingga Rp 14 juta/ha. Sekarang sudah Rp 16,5 juta/ha.

Harga tanah sawah pun jadi makin mahal. Lahan sawah seluas 1,0 hektare milik Haji Genteng, juragan yang tinggal di Tegal, sudah ditawar Rp 3 miliar. Namun, dia tak mau melepasnya. Dia yakin bisa menjual lahannya dengan harga Rp 4 miliar.

Harga bisa sampai miliaran hanya untuk 1 hektare sawah di beberapa lokasi strategis di Brebes. Terutama, wilayah yang bisa menopang untuk bisnis yang lebih besar. Di beberapa titik tentu masih murah.

Kondisi serupa juga terjadi di wilayah lain. Lahan seluas satu hektare yang berada di dekat pegunungan di Desa Tuwel, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, masih bisa dibeli dengan harga Rp 150 juta. Lahan sawah di yang berjarak 3-5 km dari jalan raya utama pantura Cirebon juga masih bisa dimiliki dengan harga Rp 160 jutaan.

Dengan tantangan bertani yang makin berat sudah banyak petani yang menyerah. Banyak juga yang terpaksa cari pekerjaan lain.

Yang beruntung bisa menciptakan kegiatan yang lebih memadai. Masturi, misalnya, kini lebih tenang karena memiliki toko material. "Lumayan meski kecil-kecilan daripada jadi petani lagi," tutur lelaki asal Desa Jatibarang Lor, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes.

Petani akan terus gigit jari jika kondisinya seperti saat ini. Petani di mana pun setiap hari harus berhadapan dengan ketidakpastian. Hanya satu yang pasti bagi mereka: harga jual hasil panen, tak pernah bisa mereka tentukan sendiri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement