Jalan Kedoya Raya, Jakarta Barat, Jumat (27/6) siang begitu ramai. Di pinggir jalan tampak berderet mobil terparkir. Tak hanya itu, banyak pula keluarga yang berjalan sambil membawa kantong plastik berisi bunga warna-warni.
Sekilas, suasana di sana tampak se perti di Pasar Jumat yang penuh dengan kendaraan yang terparkir asalasalan dan kerumunan orang yang berduyun-duyun. Belum lagi tenda-tenda kecil di tepi jalan dengan atap terpal yang makin menambah keriuhan.
Namun, kenyataannya itu bukan pasar kaget atau di Pasar Jumat. Mereka itu sedang berziarah menuju tempat pemakaman umum (TPU) Rawa Kopi, Kedoya. Bunga warna-warni yang mereka bawa adalah bunga tabur untuk makam sanak keluarga mereka yang dimakamkan di sana.
Warung-warung beratap terpal di pinggir jalan itu bukanlah penjaja nasi rames atau kue lopis. Mereka adalah pen jual bunga musiman yang memang selalu menjajakan bunga tabur setiapta hunnya menjelang Ramadhan. Sosok-sosok penjual bunga tabur menjamur di pemakaman itu. Jika tidak ada mereka maka penziarah harus mem beli bunga tabur di pasar bunga yang jaraknya cukup jauh. Bunga yang mereka jual selalu laku dibeli peziarah, berapa pun harganya.
Siti Aminah (41 tahun), misalnya, mengaku rutin berjualan bunga tabur setiap tahun. “Menjelang puasa sama pas Lebaran saya selalu jualan. Lumayan nambah uang belanja,” ujarnya. Dia mengaku meraup Rp 200 ribu setiap harinya dari berjualan bunga tabur. Begitu pula dengan Esti Pertiwi yang masih berusia 16 tahun. Dia mengaku berjualan untuk mengisi liburan sekolah. “Habis terima rapor, jadi jualan. Sekalian bantu orang tua.”
Esti yang masih duduk di bangku kelas XI SMK Satria Srengseng, Jakarta Barat, ini mengaku tidak keberatan untuk berjualan bunga tabur. Dia malah mengaku senang bisa membawa pulang uang sampai Rp 300 ribu dalam seharinya. “Nanti Lebaran jualan lagi.
Habis shalat Id, kami jualan di sini.” Hal serupa juga dialami oleh Faris yang sehari-hari bekerja sebagai kurir pengantar barang. Menjelang Ramadhan ini dia beralih profesi menjadi penjual bunga. “Mumpung ada kesempatan,” ujarnya.
Dalam sehari, Faris dan istrinya Aliyah mampu mengantongi uang sampai dengan Rp 500 ribu. Uang itu, menurut Aliyah, akan digunakan untuk menambal kebutuhan sehari-hari. “Ya ini berkah dari peziarah,” katanya.
Fenomena menjamurnya penjual bunga tabur ini dibenarkan oleh Jaiz Sunarto, kepala Seksi Pelayanan Pasar Bunga Rawa Belong. Menurutnya, setiap tahunnya momen menjelang pua sa adalah puncak kenaikan omzet. “Namun, tahun ini omzet kami menurun dibanding tahun lalu. Alasannya, karena maraknya praktik pungut bunga. Jadi, ada anak-anak yang iseng munguti bunga yang sudah ditabur di kuburan dan dijual lagi,” jelasnya.
Jaiz juga mengatakan, adanya penurunan harga bunga. “Tahun lalu bisa mencapai harga Rp 150 ribu. Tahun ini mentok Rp 70 ribu,” jelasnya. Menjamurnya penjual bunga tabur di pemakaman dianggap Rizka, peziarah di sana, sangat membantunya. “Jadi, ga repot nyari-nyari,” katanya. Menurutnya, kondisi ini justru merupakan berkah, tidak hanya bagi peziarah sepertinya, melainkan juga bagi para penjual bunga tabur musiman. rep:c85 ed: dewi mardian