Indonesia adalah negara yang sebagian besar berupa laut. Sepertiga wilayahnya merupakan daratan yang menjadi wadah bagi perkembangan kehidupan masyarakat.
Dengan wilayah yang didominasi lautan, Indonesia memiliki pekerjaan besar untuk menyiapkan lahan baru bagi kota-kota terpadatnya. Lahan tidak akan bertambah, sedangkan masyarakat selalu bertambah. Tidak bisa dimungkiri, kegiatan ekonomi yang belum merata di Indonesia membuat kepadatan penduduk timpang.
Hal ini membuat Jakarta yang juga ibu kota negara mendominasi kegiatan ekonomi maupun sosial. Tingkat urbanisasi yang tidak terbendung membuat Jakarta menjadi kota paling sibuk di Indonesia. Pertumbuhan penduduk di Jakarta ditambah kedatangan warga baru membuat Jakarta tidak lagi mampu memberikan lahan untuk berkembang.
Tiap tahun, pertumbuhan penduduk di Jakarta mnencapai 1,4 persen. Hal ini juga dibarengi dengan tingkat investasi di Jakarta yang sangat tinggi, yaitu sekitar 12 persen, menurut PDB nasional. Dari data Kementerian Pekerjaan Umum, kebutuhan permukiman di Jakarta mencapai 70 ribu unit tiap tahun. Akibatnya, Jakarta menjadi wilayah yang sangat kekurangan ruang.
Di sisi infrastruktur, panjang ideal jalan yang harusnya ada di Jakarta saat ini baru terpenuhi sebanyak 60 persen. Kondisi ini menciptakan 771 titik kemacetan terjadi di Jakarta. Lingkungan Jakarta juga hanya memiliki sembilan persen Ruang Terbuka Hijau. Bahkan, Ibu Kota masih defisit air baku sebanyak 11.185 liter/ detik data 2010.
Dengan kondisi pertumbuhan tersebut, membuat sekitar 778 titik wilayah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur) beralih fungsi tidak sesuai dengan peruntukan lahan. Disisi lain, wilayah Jakarta mengahadapi ancaman tenggelam karena daratan mengalami penurunan sekitar 7,5 sentimeter tiap tahun. Pada kondisi ini diprediksi, daratan Jakarta akan berada di bawah permukaan air laut pada 2050.
Penyebaran pembangunan di wilayah Jakarta sendiri yang tidak merata membuat pembangunan mengarah ke wilayah selatan Jakarta yang seharusnya menjadi daerah resapan air. Untuk itu, pembangunan harus mengarah pada utara Jakarta yang saat ini kondisi lingkungannya mengalami penurunan.
Selain itu, wilayah utara Jakarta juga tidak tertata, sehingga muncul banyak wilayah kumuh. Pemerintah berupaya membuat reklamasi di utara pantai Jakarta. Bahkan, menurut Kepala Biro Tata Ruang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Benny Agus Chandra, rencana reklamasi ini sudah ada sejak 1995 dengan adanya Keputusan Presiden No 52 tahun 1995 tentang reklamasi pantai utara Jakarta yang diturunkan dalam Peraturan Daerah No 8 tahun 1995 tentang penyelenggaraan reklamasi dan rencana tata ruang kawasan pantura (pantai utara) Jakarta.
Reklamasi tiga wilayah
Yang terbaru, reklamasi pantura didasarkan pada Perda No 1 tahun 2012 tentang RTRW DKI Jakarta 2030 dan Peraturan Gubernur No 121 tahun 2012 tentang penataan ruang kawasan reklamasi pantura Jakarta. "Reklamasi ini dilakukan dengan revitalisasi pantai lama, total kawasan reklamasi pantura sekitar 5.100 hektare," kata Benny saat diskusi pengembangan Lahan untuk Pembangunan Jakarta yang Berkelanjutan di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Reklamasi ini akan dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu barat, tengah, dan timur. Untuk wilayah barat, akan diperuntukkan sebagai daerah permukiman dengan intensitas sedang, kegiatan rekreasi, dan komersial terbatas. Untuk wilayah tengah, diperuntukkan sebagai pusat perdagangan/ jasa skala internasional, pusat rekreasi dan permukiman dengan intensitas tinggi. Sedangkan, wilayah timur akan diperuntukkan sebagai pusat distribusi barang, pelabuhan, industri/ pergudangan, serta permukiman dengan intensitas rendah sebagai penunjang. Ada 17 pulau yang akan direklamasi yang masuk dalam tiga zona tersebut.
Program reklamasi ini memang membutuhkan dana yang sangat besar. Untuk itu, Kepala Subdit Pengembangan Ruang Perkotaan Ditjen Tata Ruang Kementerian PU Eko Budi Kurniawan mengatakan, sebagian dana untuk reklamasi dapat diusahakan dengan menjualnya ke pihak swasta. Bahkan, di program reklamasi ini akan dibuat tanggul di tengah laut yang dilengkapi jalan tol. Akibat pembiayaan yang tidak sepenuhnya berasal dari pemerintah, penataan lahannya harus dapat dikembalikan ke komersial. Artinya, kawasan reklamasi ini tidak akan mewakili ruang publik yang banyak. "Biaya total untuk program reklamasi ini diperkirakan mencapai Rp 4 ribu triliun," kata Eko Budi.
Untuk merealisasikan proyek reklamasi ini, teknologi yang akan diterapkan pada ke-17 pulau akan berbeda-beda sesuai dengan karakteristik tiap pulaunya. Tapi, pada dasarnya teknologi reklamasi adalah mengeruk laut dengan ketinggian tertentu yang akhirnya menjadi lahan untuk permukiman baru.
Teknologi yang mungkin diterapkan, antara lain, membuat border, yaitu membuat tanggul yang kemudian akan disemprot dengan pasir laut, kemudian ditinggikan. Tapi, menurut peneliti Institut Teknologi Bandung Hesti Nawangsidi, apa pun teknologi yang akan digunakan untuk reklamasi nantinya harus aman bagi lahan dan lingkungan laut di sekitarnya.
Teknologi yang akan diterapkan untuk proyek reklamasi pantai utara Jakarta adalah dengan mengambil pasir dari kepulauan sekitar, seperti Sumatra. Pasir untuk membuat daratan baru ini akan diangkut menggunakan kapal besar yang masih terbatas di seluruh dunia. "Prinsip reklamasi tidak menambah beban daratan Jakarta serta memerbaiki kondisi daratan pantura melalui program revitalisasi," kata dia.
Rencana reklamasi ini mendapat sorotan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Manajer kampanye Eknas Walhi Ode Rakhman mengingatkan, reklamasi dibolehkan, tapi harus tetap memerhatikan lingkungan hulu, sehingga tidak menimbulkan masalah baru di bidang sosial dan lingkungan. Selain itu, rencana Giant Sea Wall saat ini belum memberikan solusi bagi nelayan di pesisir Jakarta yang hidupnya tergantung pada Teluk Jakarta. "Jangan sampai proyek besar itu semakin memarginalkan masyarakat pesisir dengan dominasi bisnis," kata Ode. N red; agus raharjo ed: hiru muhammad