Gending ini membuka peringatan ke-50 tahun Djaduk Ferianto untuk 'lahir' kembali.
"Wong Jowo ilang Jawane." Kalimat tersebut terpampang jelas di layar raksasa di belakang para pemusik yang sedang tampil di atas panggung. "Orang Jawa yang kehilangan Jawanya," begitu maksudnya.
Tulisan satir itu mengiringi musik yang sedang dimainkan, sebuah aransemen lagu berjudul "Jawa Dwipa". Lagu yang judulnya diangkat dari ramalan Jayabaya (Jowo ilang Jawane) itu dimainkan oleh tujuh pemusik, lengkap dengan kendang dan tabuhan bonang.
Nuansa gamelan kental terasa, namun diwarnai dengan iringan bas dan gitar. "Jawa hari ini adalah yang dinamis dan membuka diri terhadap beragam budaya. Makna "ilang" bukan lantas kita kehilangan identitas. Nilai filosofinya tetap tertanam di hati setiap orang Jawa. Lagu ini sekaligus sebagai jalan kembali ke Jawa," ujar sang seniman kepada penonton.
Sebelumnya, tujuh pemusik itu menampilkan sebuah gubahan lagu lama yang berjudul "Piknik ke Cibulan". Satu lagu yang pada era 1970-an dinyanyikan oleh Dariah, penyanyi Tarling yang terkenal dari Indramayu kala itu.
"Kita tidak kalah dengan Amerika. Mereka bilang pernah ke bulan. Kita juga pernah. Bahkan, piknik ke sana, ke Cibulan," guyon salah satu musikus yang memainkan suling disambut gelak tawa penonton. Lagu ini digarap dengan warna tarling (gitar-suling) yang menghadirkan gaya dan suasana"Indramayu", namun sesekali diselipi nada khas gending Jawa yang melengking.
Dua lagu di atas, "Jawa Dwipa" dan "Piknik ke Cibulan", adalah lagu pembuka sebuah pagelaran akbar yang dihelat khusus untuk merayakan 50 tahun usia Djaduk Ferianto, seniman Yogyakarta. "Usia 50 tahun tahun menjadi momentum saya untuk lahir kembali. Semoga saya tidak tua, tapi kembali muda. Kalau saya awet muda, istri saya tidak kecewa," candanya.
Pementasannya di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) pada pekan ini menyedot ribuan orang. Tiketnya ludes. Dalam pegelaran ini, Djaduk bersama kelompoknya, Kua Etnika, menciptakan lagu baru berkomposisi sesuai selera penikmat musik. "Seluruh komposisi selalu didasari oleh semangat untuk berkomunikasi dengan pendengar sehingga karya-karya kami familiar di telinga pendengar," ujar Djaduk dalam repertoar pertunjukannya.
Dalam perhelatan musik ini, Djaduk mengambil tajuk sesuai namanya, "Gending Djaduk". Gending adalah komposisi atau lagu dalam, karawitan Jawa, Bali, dan Sunda. Memaknai gending ini, Djaduk berharap karya-karya yang dibuatnya kali ini bisa lebih sareh dan nges seperti halnya gending-gending Jawa dengan mengambil nuansa budaya di nusantara.
Musik-musik yang ditampilkan oleh Djaduk pada akhirnya merupakan percampuran dari banyak budaya. Pada satu waktu, penonton akan mendengar lantunan seruling dengan irama khas Minang, namun jeda berikutnya akan terdengar denting gitar yang mengiringi musik khas Maluku. Instrumen yang digunakan dalam pagelaran ini adalah gamelan Jawa (combo standard: keyboard, drumset, gitar, dan bas), serta perkusi lainnya.
Selain dua lagi yang disebut di atas, ada delapan lagu lainnya. Masing-masing lagu, menurut Djaduk, memiliki latar belakang dalam proses penyusunan komposisinya. Contohnya "Bethari" yang dulu pernah Djaduk garap untuk sebuah repertoar bertajuk "Opera Anoman". Dalam repertoar karya N Riantiarno pada 1977 itu, Djaduk menciptakan musik yang mengantar pada peristiwa adegan Dewi sedang menari di kahyangan.
Ada lagi sebuah lagu unik yang diilhami Djaduk saat dia tampil di hadapan para wakil rakyat di gedung MPR. "Di sana saya melihat para anggota dewan yang terhormat itu menguap, bahasa Jawanya angop. Dari situ, saya membangun imaji untuk mengubahnya ke dalam musik," kata Djaduk. Kelakarnya itu lantas dibuktikan dengan sebuah musik. Dengan memanfaatkan lonceng leher sapi, Djaduk mampu membuat musik yang kalau bisa dibilang, menyerupai irama orang tengah angop.
Pada akhir pagelaran, ditampilkan sebuah lagu di mana Djaduk menggandeng seorang musikus kenamaan Indonesia, Glenn Fredly. Dalam lagu "Molukken" itu, Djaduk dan Glen seolah membawa penonton mengunjungi Teluk Ambon. "Saya mengajak siapa pun untuk mengarungi suasana teluk nan indah itu, pasir, dan pantai, melodi-melodi khas Maluku yang merekam sejarah bangsa kita," kata Djaduk kepada penonton.
Pagelaran ini ditutup dengan sebuah musik kontemporer berirama cepat berjudul "Ritma Khatulistiwa". Kekayaan irama di nusantara mengilhami komposisi ini. Bentuk perkusif dominan dalam ketuk lagu lewat pukulan. Kemeriahan dalam lagu ini sukses mengajak penonton menyaksikan sebuah pesta di tanah khatulistiwa yang penuh keragaman.
Djaduk sekali lagi sukses menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang musikus kontemporer. Lima puluh tahun berkarya tak lantas mengendurkan semangatnya dalam berkarya. Usai pertunjukan, Djaduk sempat berkata, "Usia 50 tahun adalah zona proses kematangan dalam hidup dan kedewasaan dalam ruang kreativitas. Ibarat titik ini adalah terminal menuju perjalanan kreatif saya ke depannya." rep:c85 ed: dewi mardiani