REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO - Hamza Ali al-Khateeb, bocah 13 tahun berwajah bulat itu ditahan dalam protes di Jiza, sebuah desa di selatan Suriah, 29 April lalu. Tak ada kabar berita setelah itu. Satu bulan kemudian, tepatnya 24 Mei lalu, tubuh bocah malang itu dikembalikan ke kekeluarganya dalam kondisi termutilasi mengerikan.
Derajat kemanusiannya diturunkan. Ia tak lebih dari seonggok daging untuk dipukul, dibakar, disiksa dan dilukai. Saat keluarganya memeriksa, sekujur tubuhnya ditemukan tanda-tanda luka bekas penyiksaan brutal.
Bekas luka itu mulai dari, pembakaran oleh sinar laser, memar dan luka bakar di kaki, wajah dan lutut. Ada pula bekas penggunaan piranti listrik dan cambukan kabe.
Kedua mata Hamza bengkak dan hitam. Selain bekas tadi terdapat pula luka peluru. Ia terlihat ditembak dari kedua lengannya, meninggalkan lubang di sisi masing-masing tubuh dan peluru bersarang di perut.
Sementara di dada Hamza terdapat tanda bakar yang dalam dan gelap. Horor tak berhenti sampai di sana, leher si bocah patah dan kemaluannya dipotong.
"Di mana para dewan hak asasi manusia? Di mana Pengadilan Kriminal Internasional," terika suara lelaki yang memeriksa tubuh Hamza dalam video.
Video itu sempat ditayangkan di YouTube. "Satu bulan berlalu dan keluarganya tak tahu di mana ia berada atau apakah ia akan dibebaskan. Ia memang dikembalikan kepada keluarga, tapi sebagai mayat. Lihat tubuhnya, tanda-tanda ia disiksa sangat jelas." dengar suara itu lagi.
Klip asli telah dihilangkan dari situs video tersebut. Namun satu versi dengan bagian genital terpotong yang dikaburkan masih ditayangkan.
Ketika ibu Hamza datang untuk melihat tubuh putranya, sepupunya bertutur, ia hanya diperlihatkan bagian wajah. Sepupu Hamza ada di tempat saat itu.
"Kita mencoba mencegah ayahnya untuk tidak melihat tubuhnya, namun ia menarik semua selimut. Ketika ia melihatnya, ia pingsan. Orang-orang berlari menolongnya dan beberapa orang mulai merekam. Situasi saat itu benar-benar kacau."
Menghilang begitu saja
Tanggal 29 April lalu disebut sebagai "The Friday of Ending the siege on Deraa", Deraa adalah kota perbatasan di mana penyiksaan terhadap anak telah memicu kebangkitan rakyat Syirah. Di kota itu, pasukan al Assad melakukan kekerasan terhadap rakyat sipil dan membunuh ratusan orang.
Hamza bukanlah anak yang memiliki antusias tinggi dengan politik, ujar sepupunya. Namun setiap orang cenderung tertarik untuk ikut turun ke jalan, begitu pula Hamza. Ia berjalan kaki bersama teman-temanya dan keluarganya sepanjang 12 kilometer dari tempat tinggalnya.
Tiba-tiba ada tembakan begitu masa mendekati pinggir kota Saida. "Orang-orang terbunuh dan terluka, beberapa ditahan. Situasi begitu kacau dan saat itu kami tak tahu apa yang terjadi pada Hamza. Ia menghilang begitu saja."
Sumber kedua, seorang aktivis yang tinggal di wilayah itu, seperti dilansir Al Jazeera, Rabu (2/6) mengatakan Hamza berada di antara 51 demonstran yang ditahan pada 29 April. Mereka ditahan oleh intelijen angkatan udara dan dilaporkan sejumlah tahanan telah disiksa dengan metode brutal.
"Mereka semua ditahan oleh divisi kontra terorisme dari intelijen AU," ujar si aktivis.
"Mereka semua hidup ketika dimasukkan penjara, namun kami menerima 13 jenazah pekan ini dan semua ada tanda bekas penyiksaan. Intelijen AU dikenal dengan siksaannya. Mereka barbar. Kami kemungkinan menerima lagi puluhan jenazah yang dikirim pulang dalam beberapa hari ke depan."
Kabar itu direspon oleh satu-satunya TV swasta di Suriah, Al Dunia, yang dikenal pro dengan rezim al-Assad. Seorang dokter forensik dari rumah sakit militer di Damaskus, Akram al-Shaar yang mengklaim telah mengawasi proses otopsi Hamza diwawancara dalam satu tayangan di Al Dunia.
Dalam wawancara ia mengatakan tak menemukan tanda bekas penyiksaan. Ia mengklaim tanda-tanda luka pada tubuh Hamza adalah hasil penguraian alami pada jenazah.
Awal bulan ini, Pusat Kajian Studi Hak Asasi Manusia Damaskus (DCHRS) melaporkan bahwa tubuh 244 warga sipil yang terbunuh dalam serangan militer telah dipindahkan ke rumah sakit militer Tishreen. Langkah itu dipandang sebagai kebijakan sistematis rezim untuk mencegah perawatan terhadap jenazah dan ataupu pengunjuk rasa yang sekarat.
Setelah tubuh Hamza difilmkan agar dunia tahu bagaimana ia meninggal dan dishalatkan di masjid setempat, bocah itu dikebumikan di Jizah. Semua media asing dilarang masuk ke Suriah. Namun wartawan lokal berpengalaman dan periset hak asasi manusia tak meragukan keaslian rekaman video terhadap tubuh Hamza.
Kejahatan terhadap kemanusiaan
Ayah Hamza, Ali al-Khateeb, ingin melakukan gugatan hukum terhadap tentara dan pasukan keamanan, ujar sepupu Hamza. Namun yang terjadi Ali dan istrinya didatangi oleh polisi rahasia dan diancam.
"Mereka berkata: "Cukup sudah dengan apa yang terjadi, itu pun gara-gara kalian. Kalian tahu apa yang kami lakukan bila kami dengan kalian berbicara dengan media," tutur ibu Hamza kepada aktivis lokal. Wanita itu menolak memberi detail lebih jauh mengenai situasi terkait kematian dan penahanan putranya.
Ayah Hamza pun sempat ditahan pada Sabtu sore setelah ia polisi rahasia menekannya agar berkata pada media bahwa Hamza dibunuh oleh tentara Salafi dari ekstrimis Sunni.
"Ayah Hamza sempat diminta datang ke kantor militer terdekat selama satu setengah jam" kata sepupu Hamza. "Tapi ia diperlakukan dengan baik dan kembali pulang setelah itu."
Penyiksaan dalam penjara Suriah, telah lama dikenal sebagai yang terburuk di dunia. "Kini tingkat penyiksaan itu kian menjadi-jadi," demikian menurut laporan Human Right Watch.
"Ketika sudah sampai pada eksekusi dan penyiksaan masal, maka tindakan itu berada di tingkat kejahatan terhadap kemanusiaan. Di Suriah, sangat jelas bahwa praktek itu tersebar dan sistematis,' ujar direktur Avaaz, Ricken Patel, yang pernah mendokumentasikan kekerasan terhadap HAM di negara itu.
"Ini adalah kampanye terorisme dan intimidasi massal. Orang-orang yang telah mengalami penyiksaan mengerikan dikirim balik ke masyarakat oleh rezim. Mereka tidak berusaha menutupi kejahatan itu namun untuk mempromosikan apa yang mereka bisa lakukan bila rakyat melawan."
Sepekan setelah tubuhnya dikembalikan, sebuah laman Facebok didedikasikan untuk Hamza telah memiliki 60 ribu lebih pengikut di bawah judul "We are all Hamza al-Khateeb".
Di sis lain perbatasan Suriah, di kawasan timur laut, juru bicara oposisi Gerakan Masa Depan Kurdi, Rezan Mustapha, mengaku ia bersama anggota lain telah melihat video horor tersebut.
"Video itu tidak hanya menghentak setiap rakyat Suriah, tapi juga seluruh dunia. Ini tak bisa diterima. Penyiksaan dilakukan demi menghentikan rakyat untuk menyuarakan tuntutannya," ujarnya. Namun, imbuhnya, demonstran justru tambah terpacu oleh sikap barbar ini.
Meski Hamza adalah satu di antara 20 anak Ali yang memiliki dua istri, ia terguncang hebat seperti kehilangan satu-satunya anak. "Apa yang akan dirasakan seorang ayah bila ia melihat tubuh anaknya sendiri seperti itu," kata sepupu Hamza.
Hamza, kenang sepupunya, dulu sangat menyukai hujan. Bila sungai irigasi di dekat ia tinggal penuh terisi air hujan, ia bersama anak-anak lain akan melompat dan berenang.
Namun kekeringan selama beberapa tahun terakhir membuat bocah berusia 13 tahun itu tak bisa menikmati kolam alaminya. Alih-alih ia akan membawa merpati-merpati piaraan ke atap rumahnya yang sederhana dan menonton burung-burung itu terbang di horizon di mana tomat dan gandum tumbuh di ladang gersang.
Meski Hamza tak berasal dari keluarga kaya, ia dikenal peka dan memiliki rasa belas kasihan tinggi. Sepupunya bertutur, Hamza tahu bahwa masih banyak yang kurang beruntung dibanding dirinya.
"Ia biasanya minta izin orang tua untuk bersedekah kepada kaum papa. Saya masih ingat ia ingin memberi seorang miskin sejumlah 100 pounds Suriah, (Rp20 ribuan) dan orangtuanya bilang itu terlalu banyak." tutur sepupu Hamza. Tapi Hamza bersikeras dan berkata "Saya masih punya tempat tidur dan makanan sementara ia tidak."
Akhirnya Hamza berhasil membujuk orangtuanya untuk memberikan 100 pounds tadi. Namun di tangan militer rezim Suriah, Hamza tak menemukan belas kasihan.